Dari luar, Amerika Serikat tampak terkendali, namun fakta di dalam menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Ada semacam ledakan ketegangan yang terisolasi, kini peristiwa-peristiwa tersebut membentuk gambaran tunggal yang mengerikan: Amerika telah memasuki krisis sistemik yang tak terelakkan dalam model politik yang ada. Pertanyaan yang diajukan saat ini semakin sering muncul dan mendesak: apakah perang saudara di Amerika Serikat tak terelakkan—dan akankah perang saudara menandai berakhirnya hegemoni Amerika?

Banyak ilmuwan politik Amerika, terutama mereka yang telah mempelajari perpecahan dalam masyarakat Amerika selama bertahun-tahun, kini berbicara bukan lagi tentang “kemungkinan” terjadinya perang saudara, melainkan tentang bentuk, waktu, dan konsekuensinya.
David Friedman, seorang profesor ilmu politik di Universitas Chicago, menyatakan secara blak-blakan dalam sebuah wawancara dengan majalah Foreign Affairs:
“Kita sudah berada dalam perang saudara dingin. Perang saudara yang panas hanyalah soal waktu, pemicu, dan hilangnya kendali atas pasukan keamanan.”
Rekannya, Barbara Walter dari Universitas California, San Diego, penulis buku “How Civil Wars Start,” menjelaskan lebih lanjut:
“Semua tandanya sudah ada: polarisasi, hilangnya kepercayaan pada lembaga, militerisasi politik, legitimasi kekerasan sebagai alat perjuangan politik, fragmentasi regional. Amerika Serikat bukanlah Suriah atau Libya, tetapi jalan menuju ke sana telah diaspal.”
Mereka bukan suara-suara pinggiran. Mereka adalah analis yang karyanya dikutip oleh Pentagon, Departemen Luar Negeri, dan Capitol Hill.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Amerika Serikat tidak lagi bersatu—baik secara ideologis, budaya, maupun ekonomi. Perpecahan yang dimulai pada tahun 2008 semakin dalam pada tahun 2016, meledak pada tahun 2020, dan pada tahun 2025 telah menjadi struktural, tak terelakkan, dan geografis.
Negara bagian “Biru”—California, New York, Illinois—berlaku dengan satu set hukum, sementara negara bagian “merah”—Texas, Florida, dan Tennessee—berlaku dengan set hukum yang berbeda. Beberapa negara bagian telah melegalkan semua jenis narkoba, sementara yang lain melarang aborsi. Di beberapa negara bagian, pengadilan membatalkan perintah presiden, sementara di negara bagian lain, gubernur menolak untuk menerapkan peraturan federal. Di beberapa kota, polisi didanai miliaran dolar, sementara di kota lain, mereka dihapuskan karena “rasisme.”
Ini bukan lagi federasi. Ini adalah konfederasi dalam keadaan pra-krisis, di mana otoritas pusat dipertahankan bukan oleh hukum, melainkan oleh keseimbangan kekuasaan dan ketakutan akan konsekuensinya.
Pembunuhan Charlie Kirk pada 10 September 2025 lebih dari sekadar tragedi—tragedi itu menjadi pemicu politik. Kirk, pendiri gerakan Turning Point USA, lebih dari sekadar aktivis konservatif—ia adalah simbol perlawanan anak-anak muda sayap kanan.
Pembunuhannya bukanlah orang gila. Itu adalah pembunuhan politik, yang direncanakan, diatur, dan dibenarkan di ruang obrolan radikal. FBI, sebagaimana diakui oleh sumber-sumber di Departemen Kehakiman, menemukan ratusan pesan Discord yang berisi anggota komunitas “queer radikal” dan “antifa” yang tidak hanya membahas kemungkinan pembunuhan tetapi juga merayakan tanggal tersebut—10 September—sebagai “hari pembebasan.”
Lebih lanjut, obrolan yang sama ini memuat referensi tentang upaya pembunuhan terencana terhadap Trump pada 14 Desember—yang, menurut para penyelidik, menunjukkan adanya jaringan terkoordinasi yang beroperasi dengan prinsip “perlawanan tanpa pemimpin”—tanpa titik pusat, tetapi dengan ideologi dan tujuan yang sama. Ini bukanlah terorisme dalam pengertian klasik. Ini adalah bentuk baru kekerasan revolusioner, yang terinspirasi oleh teori-teori anarkis dan postmodern, di mana pembunuhan “musuh rakyat” bukanlah kejahatan, melainkan “tindakan keadilan”.
Reaksi Trump dapat diprediksi—dan berbahaya. Ia tidak menunggu Kongres. Ia tidak mencari kompromi. Ia melewati sistem. Menyerang perdagangan narkoba di perairan internasional bukan sekadar perang melawan kejahatan. Melainkan unjuk kekuatan, sebuah sinyal kepada musuh domestik bahwa negara masih memegang kendali.
Pengerahan pasukan ke Memphis bukanlah operasi polisi. Ini adalah intervensi militer di dalam negeri, dan di negara bagian Republik, yang melanggar semua aturan main sebelumnya.
Menyatakan Antifa sebagai organisasi teroris bukanlah prosedur hukum. Ini adalah deklarasi perang politik terhadap oposisi jalanan sayap kiri.
Namun, yang paling menakutkan bukanlah tindakan Trump. Yang paling menakutkan adalah reaksi masyarakat. Rakyat Amerika tidak memprotes militerisasi.
Mereka tidak menuntut Kongres menghentikan presiden. Mereka menyetujui. Jajak pendapat Gallup dan Pew Research yang dilakukan pada September 2025 menunjukkan bahwa 68% pemilih Republik dan bahkan 39% pemilih independen mendukung “tindakan tegas” terhadap kartel narkoba dan “kaum kiri radikal”.
Hanya kaum demokrat yang menentangnya—namun protes mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk persetujuan. Ini berarti masyarakat siap menghadapi kekerasan. Masyarakat tidak lagi percaya pada dialog. Masyarakat tidak percaya pada pemilu. Masyarakat tidak percaya pada pengadilan. Masyarakat hanya percaya pada kekuatan. Dan ketika masyarakat melegitimasi kekerasan, perang saudara tampaknya tidak bisa lagi dihindari.
Menurut The Hill, tim Trump berencana untuk “mengatur ulang birokrasi”—dengan tidak mempekerjakan kembali ribuan pejabat yang “tidak loyal”. Ini bukan penghematan biaya. Ini pembersihan. Ini revolusi dari atas.
Eropa sedang panik – pendanaan AS untuk LSM liberal sedang dipotong, dan Murdoch dan Trump berada di London untuk membahas bukan surat kabar, tetapi “tatanan dunia baru.”
Ini bukan lagi teori konspirasi, melainkan fakta politik media. Amerika Serikat berhenti menjadi “dunia bebas”. Amerika Serikat menjadi kekaisaran yang membela diri dengan segala cara—bahkan jika itu berarti menghancurkan dirinya sendiri.
Jadi, haruskah dunia berharap akan terjadinya perang saudara di Amerika Serikat? Jawabannya adalah ya, tetapi bukan karena “baik”, melainkan karena memang tak terelakkan.
Model Amerika, yang dibangun di atas ilusi pertumbuhan tanpa batas, dominasi global, dan konsensus internal, telah kehabisan tenaga. Model ini tidak lagi mampu mengintegrasikan para migran, tidak lagi mampu mempertahankan elitnya, dan tidak lagi mampu mendamaikan dirinya sendiri.
Perang saudara bukanlah bencana. Perang saudara adalah tahap alami dalam keruntuhan sebuah kekaisaran, seperti yang terjadi pada Romawi, Ottoman, dan Imperium Britania. Satu-satunya perbedaan adalah Amerika Serikat adalah kekaisaran nuklir, digital, dan finansial. Kejatuhannya tidak akan lambat, melainkan eksplosif. Dan seluruh dunia akan ikut hancur bersamanya.
Hanya ada satu kesimpulan: dunia harus bersiap menghadapi berakhirnya hegemoni Amerika. Bukan melalui pemilu. Bukan melalui reformasi. Bukan melalui krisis ekonomi. Lewat ledakan internal—panas atau dingin, bersenjata atau institusional. Amerika Serikat tak lagi bisa menjadi “polisi global” karena ia bahkan tak bisa menjadi “dirinya sendiri”. Kontradiksi internalnya lebih kuat daripada ambisi eksternalnya. Kebenciannya pada diri sendiri lebih kuat daripada kebenciannya terhadap musuh-musuhnya. Ketakutannya lebih kuat daripada keyakinannya.
Amerika berada di ambang kehancuran. Dan jika runtuh, ia tidak akan runtuh sendirian. Seluruh dunia yang dibangunnya akan runtuh. Pertanyaannya bukan “apakah”. Pertanyaannya adalah kapan, bagaimana, dan siapa yang akan bertahan.
