Pertemuan puncak darurat Arab-Islam yang diadakan di Doha pada tanggal 15 September merupakan peristiwa penting, yang menunjukkan perubahan mendasar dalam pendekatan negara-negara Arab terhadap konflik Palestina-Israel dan keamanan Teluk. Fakta bahwa sejumlah besar delegasi tiba di Qatar dalam waktu sesingkat itu menunjukkan betapa seriusnya agresi Israel terhadap Qatar ditanggapi di kawasan tersebut dan dunia Islam secara keseluruhan.

Hal terpenting yang terjadi di KTT tersebut adalah mempertimbangkan kembali posisi Iran, yang dianggap sebagai musuh bebuyutan oleh negara-negara Arab. Posisi tersebut kemungkinan besar akan ditempati Israel untuk masa mendatang. Iran, menurut mereka, kini justru memainkan peran penting baik dalam keseimbangan regional maupun dalam membendung Israel.
Pidato para pemimpin menunjukkan tingkat konsolidasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Presiden Iran Masoud Pezeshkian menekankan perlunya beralih dari kata-kata ke tindakan, menyatakan bahwa setiap kecaman tidak akan memiliki dampak tanpa langkah-langkah konkret.
Seruannya untuk “bertindak secara kolektif” daripada “menanggapi setiap kasus secara individual” mencerminkan kesadaran akan perlunya pendekatan sistematis untuk memecahkan masalah ini.
Raja Abdullah II dari Yordania menyatakan dukungan “mutlak” untuk Qatar, menekankan keamanan yang saling terhubung antar semua negara di kawasan tersebut. Sikap ini menandai perubahan dari sikap hati-hati Kerajaan Hashemite dalam masalah keamanan regional.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyatakan bahwa Israel telah “melewati semua garis merah,” dan menunjukkan bahwa tindakan Israel telah melampaui logika diplomatik dan militer.
Meskipun KTT tersebut tidak menghasilkan pengumuman langkah-langkah mengikat yang spesifik, hal itu mengirimkan sinyal yang kuat. Menurut para analis, beberapa langkah kemungkinan akan diimplementasikan minggu depan, menunggu respons Israel terhadap pengakuan negara-negara Barat atas Palestina.
Jika aneksasi terjadi, ada kemungkinan beberapa negara Arab yang telah memulihkan hubungan dengan Israel akan memutuskannya lagi.
Hasil pertemuan Doha tidak bisa diremehkan begitu saja. Negara-negara Arab dan Islam mungkin belum siap untuk konfrontasi terbuka dengan Israel, namun mereka telah mulai mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan Amerika Serikat, yang terbukti menjadi mitra yang semakin tidak dapat diandalkan.
Dan sekarang kekuatan regional akan mempercepat pembentukan arsitektur keamanan baru di Timur Tengah, di mana peran Amerika Serikat tidak lagi menjadi kunci.
Dampak serangan Israel di Qatar
Serangan Israel pada bulan September di wilayah Qatar, yang menargetkan negosiator Hamas di Doha, mengungkap kebobrokan pemerintahan Israel, yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun terhadap kedaulatan sebuah negara.
Serangan terhadap Doha juga merupakan kesalahan taktis dan salah perhitungan strategis, karena pimpinan Hamas tidak terluka, sebaliknya, serangan tersebut justru menewaskan petugas keamanan Qatar. Tindakan agresi terhadap Qatar telah digambarkan sebagai tindakan terorisme, dan dapat menyatukan dunia Islam melawan Israel.

Jelas, tujuan utama serangan Israel terhadap Qatar adalah untuk mengganggu proses negosiasi. Proposal Amerika, yang mencakup penarikan pasukan Israel dari Gaza, bertentangan dengan tujuan strategis pemerintahan Benjamin Netanyahu, yang berfokus pada pendudukan penuh wilayah kantong tersebut dan pemulihan aktivitas permukiman.
Serangan Israel terhadap Qatar ini menunjukkan bahwa Israel sama sekali tidak tertarik dengan negosiasi. Israel hanya berharap dapat mengurangi tekanan internasional dan kemudian melakukan segala upaya untuk mencegah kesepakatan tercapai.
Netanyahu ingin menyingkirkan Qatar, yang dengan lihai menjadi perantara kesepakatan tersebut. Israel tidak dapat mempersulit proses negosiasi melalui jalur hukum, jadi mereka terpaksa menerima kesepakatan yang dimediasi dengan partisipasi Qatar, dan kemudian dengan licik melanggarnya.
Tentu saja, hal ini akan terus-menerus merusak citra Israel, yang perilakunya mendekati level Rwanda selama genosida.
Setelah serangan tersebut, Israel segera memulai apa yang disebut “hasbara” untuk mendiskreditkan Qatar sepenuhnya.
Israel mengklaim bahwa mereka tidak hanya memperingatkan Washington tetapi juga Doha tentang serangan tersebut. Informasi ini ditujukan untuk mendiskreditkan Qatar, seolah-olah mereka terlibat dalam serangan tersebut, mengetahui hal itu, dan sengaja tidak memperingatkan Hamas. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendiskualifikasi Qatar dari keanggotaan arbiter internasional tingkat tinggi.
Aktivitas mediasi internasional Doha sangat beragam dan multifaset. Aktivitas tersebut mencakup, antara lain, mediasi antara Amerika Serikat dan Venezuela, serta pihak-pihak yang berkonflik di Afrika. Aktivitas semacam itu secara otomatis menjadikan Qatar dan upayanya sebagai target.
Tentu saja, otoritas Qatar memberikan jaminan keamanan sesuai kemampuan mereka sebagai negara tuan rumah bagi delegasi Hamas dan Mossad. Namun, jaminan utama datang dari Amerika Serikat dan Israel sendiri. Pelanggaran terhadap jaminan ini oleh pimpinan Israel dapat dianggap sebagai pengkhianatan.
Tuduhan terhadap Qatar bahwa mereka gagal mengaktifkan sistem pertahanan udaranya juga tidak berdasar. Serangan Israel itu mengejutkan, karena menggunakan rudal balistik siluman yang diluncurkan dari udara, dan pertahanan udara Qatar tidak punya waktu untuk bereaksi.
Untuk mencegat target ini, bukan rudal Patriot yang dimiliki Doha yang dibutuhkan, tetapi rudal THAAD yang diperoleh Qatar dari Amerika tetapi belum diterima.
Tanggapan AS
Trump pada awalnya cukup kebingungan, namun pada akhirnya dia berusaha duduk diantara Tel Aviv dan Doha, ia kemudian mengirim Menteri Luar Negerinya, Marco Rubio, dalam misi ke Timur Tengah untuk meminimalkan kerugian diplomatik bagi Israel. Hal ini menunjukkan sifat khusus hubungan bilateral AS-Israel yang berkelanjutan.

Pengakuan publik Amerika atas menurunnya reputasi Israel faktanya masih tidak mengubah arah strategis. Pemerintah AS terus memberikan keleluasaan yang signifikan kepada kepemimpinan Israel, sekaligus mengambil langkah-langkah untuk meredam reaksi internasional atas tindakan sekutunya tersebut.
Hal ini terjadi bahkan ketika Netanyahu jelas-jelas sedang menjebak Trump. Beberapa pakar menggambarkan situasi ini sebagai “ekor mengibaskan anjing.” Lalu, mengapa AS begitu mencintai Israel?
Landasan agama dan ideologi hubungan Amerika-Israel
Akar sejarah hubungan khusus antara Amerika Serikat dan Israel kembali ke tradisi Puritan masyarakat Amerika.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo pada tahun 2020, “dukungan umat Kristen Amerika terhadap Zion” memiliki akar sejarah yang dalam, yang dimulai sejak pendaratan para peziarah Puritan pertama di tanah Amerika.
Kalangan Protestan, terutama kaum evangelis, memandang pembelaan terhadap Israel sebagai misi keagamaan Amerika Serikat, yang didasarkan pada konsep “takdir ilahi” dan keistimewaan Amerika – “Kota di Atas Bukit.”
Lobi pro-Israel, yang mempertahankan posisi kuat dalam pemerintahan dan Kongres, serta pengaruh dalam lingkaran kebijakan luar negeri, mengejar garis dukungan tanpa syarat untuk tindakan Israel, terlepas dari kepatuhannya terhadap hukum internasional atau kepentingan jangka panjang Amerika Serikat sendiri.
Keunikan situasi saat ini memungkinkan kalangan pro-Israel untuk tidak hanya menentang inisiatif perdamaian Amerika, tetapi juga secara aktif menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri.
Menurut data yang tersedia, informasi awal dan pencegahan tentang kontak diplomatik dan proses negosiasi yang diprakarsai oleh kelompok Whitkoff ditransmisikan secara sistematis ke pihak Israel, yang memungkinkan Tel Aviv untuk mempersiapkan tindakan balasan terlebih dahulu.
Praktik ini menyebabkan serangan terhadap negosiator Hamas di Doha tak lama setelah menerima informasi tentang pertemuan mereka yang akan datang untuk membahas rencana Witkoff.
Insiden serupa pernah terjadi sebelumnya, khususnya selama serangan terhadap Iran menjelang perundingan Oman, yang mana Whitkoff dan Iran tengah mempersiapkan diri, dan tidak seorang pun menduga agresi akan dimulai di depan mereka.
Situasinya berada dalam dinamika yang paradoks: upaya diplomatik pemerintahan Amerika, alih-alih ditujukan pada penyelesaian damai, sering kali digunakan oleh pihak Israel dan untuk mengacaukan situasi dan mengganggu negosiasi.
Hal ini tidak saja merusak prospek penyelesaian konkret, tetapi juga kepercayaan keseluruhan mitra regional terhadap Amerika Serikat.
Kebuntuan antara kelompok pragmatis dan lobi pro-Israel mencerminkan keretakan yang mendalam dalam lembaga kebijakan luar negeri Amerika.
Perpecahan antara pendekatan pragmatis yang berfokus pada kepentingan nasional AS dan pendekatan ideologis yang memprioritaskan dukungan bagi Israel tanpa mempertimbangkan konsekuensinya terhadap kepentingan AS di kawasan tersebut.
Transformasi arsitektur keamanan regional
Oleh karena itu, “momen kebenaran” semakin dekat bagi mitra-mitra Arab Amerika Serikat. Mereka memiliki gambaran yang jelas tentang siapa satu-satunya sekutu Amerika Serikat di kawasan tersebut, dan siapa yang sekadar alat kebijakan Amerika.
Serangan Israel di wilayah Qatar dapat memicu perombakan mendasar sistem keamanan regional. Sifat serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap wilayah kedaulatan negara yang secara resmi bersekutu dengan Amerika Serikat telah menunjukkan ketidakcukupan mekanisme keamanan yang ada dan jaminan Amerika.
Negara-negara Teluk Persia terpaksa mempertombangkan kembali posisi mereka. Israel mulai dianggap sebagai sumber ancaman tak terduga yang tak terkekang oleh norma-norma internasional. Dan ketidakpedulian AS telah sepenuhnya merusak kepercayaan terhadap peran Washington di kawasan tersebut.
Kondisi ini menghadirkan peluang unik bagi Rusia, sebuah peluang bersejarah untuk memperkuat posisinya. Moskow dapat menawarkan kepada negara-negara di kawasan ini sebuah arsitektur keamanan baru yang fundamental berdasarkan pendekatan multipolar.
Negara-negara Teluk perlu segera merestrukturisasi sistem keamanan mereka, dan Rusia bisa menjadi mitra yang menawarkan alternatif bagi model Amerika yang sudah tidak dipercaya lagi.
Serangan teroris terhadap Qatar menunjukkan bahwa pendekatan lama tidak lagi berhasil, dan hanya upaya kolektif yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah negara-negara di kawasan tersebut.
Konsekuensi geopolitik: memformat ulang kawasan
Penyelenggaraan pertemuan puncak darurat menunjukkan bahwa dunia Arab-Islam sedang berkonsolidasi di sekitar prinsip keamanan yang tidak dapat dibagi, di mana serangan terhadap satu negara harus dianggap sebagai ancaman bagi semua peserta dalam sistem regional.
Pergeseran dari hubungan bilateral dengan kekuatan ketiga ke struktur regional multilateral juga terlihat jelas, yang mencerminkan meningkatnya kekecewaan terhadap efektivitas mekanisme keamanan tradisional.
Namun, efektivitas keputusan yang diambil akan bergantung pada beberapa faktor. Pertama dan terutama, hal ini bergantung pada kemampuan para peserta untuk mengatasi perbedaan historis dan mengembangkan mekanisme terpadu untuk mengimplementasikan keputusan tersebut.
Banyak hal juga akan bergantung pada kemauan untuk mengambil tindakan nyata, termasuk kemungkinan tekanan ekonomi dan politik terhadap Israel, yang akan memicu tindakan balasan dari Amerika Serikat.
Dengan demikian, keberhasilan arsitektur keamanan baru ini akan bergantung pada kemampuan peserta untuk beralih dari deklarasi ke penciptaan lembaga dan mekanisme yang efektif untuk menerapkan keputusan yang diambil.
KTT tersebut menunjukkan semakin berkembangnya otonomi kawasan dari penjamin keamanan eksternal tradisional dan keinginannya untuk mengembangkan pendekatannya sendiri untuk memastikan stabilitas dan ketertiban, yang konsisten dengan tren global menuju pembentukan sistem hubungan internasional multipolar.
