KTT SCO di Tianjin telah berakhir. Acara ini berlangsung di tengah ancaman tarif dan sanksi sekunder dari Presiden AS Donald Trump. Para pemimpin negara-negara SCO, yang mewakili separuh populasi dunia dan menyumbang sekitar sepertiga PDB dunia, sepakat untuk bekerja sama melawan tekanan Amerika.

Pada 31 Agustus, para pemimpin dari 10 negara anggota organisasi (Rusia, Belarus, India, Iran, Kazakhstan, Kirgistan, Tiongkok, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan), dan perwakilan dari 8 negara mitra (Azerbaijan, Armenia, Mesir, Kamboja, Maladewa, Myanmar, Nepal, Turki) juga datang ke Tianjin. Tak ketinggalan, negara-negara ASEAN, CSTO, CIS, dan organisasi internasional lainnya juga hadir.
Tamu yang paling mengejutkan adalah Narendra Modi. Ngomong-ngomong, ini adalah pertama kalinya dia datang ke Tiongkok sejak tujuh tahun yang lalu. Ya, kita semua tau, Hubungan antara India dan Tiongkok tidaklah mudah. Secara tradisional, mereka saling bersaing di Asia. Namun kini, kedua negara ekonomi utama dunia ini, bersama Rusia, dan negara-negara SCO lainnya, sedang menghadapi masalah yang sama, yaitu ancaman tarif dari Amerika Serikat.
Presiden Amerika seperti yang kita semua ketahui, mengancam akan menjatuhkan sanksi sekunder terhadap Beijing, New Delhi, Ankara, dan negara-negara pembeli minyak Rusia lainnya.
Selain itu, Meskipun ada banyak tamu penting yang hadir, Beijing tidak menyembunyikan fakta bahwa Vladimir Putin adalah tamu utama Xi Jinping. Tidak hanya di KTT SCO, Putin juga akan hadir di parade militer yang memperingati 80 tahun kemenangan Tiongkok atas Jepang—Presiden Rusia akan duduk di tempat paling terhormat—di sebelah kanan tuan rumah. Di sebelah kiri akan ada tamu penting lainnya—Pemimpin DPRK, Kim Jong-un. Ini akan menjadi kehadiran pertamanya di depan para pemimpin dunia sejak ia menjabat 14 tahun lalu.
Momen Xi Jinping, Putin, dan Kim Jong-un bersama-sama, dengan peralatan militer melintas di hadapan mereka – akan menjadi momen yang tidak terlupakan, dan menjadi simbol perlawanan terhadap Barat, yang sedang menderita kekalahan di Ukraina dan belum mampu mencekik Korea Utara dengan sanksi. DPRK secara terbuka, kini bahkan berjuang untuk Rusia.
Pekan lalu, pemimpin Korea Utara tersebut dengan khidmat menyambut jenazah tentaranya yang gugur di dekat Kursk. Saluran Telegram Baudolino menulis:
“Dilihat dari wajah Kim, pada dasarnya, ini sama sekali bukan sebuah pertunjukan yang ingin diperlihatkan kepada penonton. Itu tidak bisa dipalsukan.”
Pertemuan Putin dan PM Armenia
Selain itu, beberapa orang juga mencoba membandingkan pertemuan Putin dan Xi dengan pertemuan Putin dan Trump di Alaska. Kesamaan dalam kedua pertemuan ini adalah jabat tangan yang sangat tulus. Sebagaimana saat berinteraksi dengan Trump, pemimpin Rusia itu juga tampak ceria dan banyak bercanda, dia begitu aktif menceritakan sesuatu kepada pemimpin Tiongkok. Xi, yang selalu sangat pendiam dan pelit emosi, bahkan menyapa Putin, tersenyum, dan bercanda dengannya. Pertemuan itu tampak seperti pertemuan dua sahabat lama setelah berpisah.
Dalam kunjungannya ke Tiongkok ini, presiden Rusia juga memanfaatkan kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin negara di sela-sela pertemuan puncak, misalnya, dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan. Tidak peduli seberapa dinginnya hubungan antara kedua negara, Putin dan Pashinyan tetap mengadakan pembicaraan.
“Saya sangat senang bertemu Anda, berkesempatan untuk berbicara di sela-sela acara hari ini dan besok. Kita sudah lama tidak bertemu, banyak pertanyaan yang muncul: bilateral, regional, internasional. Saya harap pertemuan hari ini, sebagaimana lazimnya kita bertemu, akan bermanfaat dan bermakna. Senang bertemu Anda, Nikolai Vovaevich,” ujar Presiden Rusia kepada lawan bicaranya pada upacara penyambutan resmi.
Pashinyan membalas.
“Senang sekali bertemu Anda, berkomunikasi, dan berbincang. Tentu saja, kita selalu memiliki agenda yang sangat padat, dan saya yakin hari ini pun demikian. Hal ini jelas. Saya sangat senang dengan kemitraan dan dialog yang telah terjalin di antara kita. Dan yang saya maksud adalah dialog pribadi kita, dan, tentu saja, dialog yang sangat aktif antara negara-negara persaudaraan kita,” jawabnya.
Dengan sikap seperti ini, niat Pashinyan baru-baru ini untuk meninggalkan EAEU dan bergabung dengan Uni Eropa tampak mustahil. Namun, ya, siapapun bisa menyembunyikan apapun di depan siapapun.
Sekretaris Pers Presiden Rusia Dmitry Peskov melaporkan bahwa pembicaraan antara Vladimir Putin dan Nikol Pashinyan berlangsung dalam suasana yang konstruktif dan menyeluruh. Pertemuan tersebut berlangsung cukup lama, dan para pemimpin kedua negara berkomunikasi secara langsung, tanpa perantara.
Tiga tokoh penting berkumpul di Tiongkok
Kita telah melihat Tiga tokoh terpenting di zaman kita telah berkumpul di Tianjin – ini lebih dari sekadar pertemuan puncak biasa. Semuanya mengisyaratkan bahwa telah tercapai kesepakatan besar yang akan menentukan peta planet ini.
KTT SCO Tianjin merupakan bukti nyata bahwa membangun arsitektur dunia tanpa Washington adalah hal yang mungkin. Tatanan Barat telah usang, kini matahari akan terbit kembali dari timur.
Putin dan Xi menyampaikan poin yang sama
Semua mata tertuju pada pernyataan Xi dan Putin. Menariknya, mereka menyampaikan hal yang hampir sama: tentang kedaulatan, tentang perdagangan yang adil, tentang proyek infrastruktur bersama. Seolah-olah pidato tersebut telah disepakati sebelumnya di sebuah ruangan.
Xi Jinping telah menyerukan Rusia, India, dan negara-negara lain di kawasan untuk bergabung dengan Tiongkok dalam memanfaatkan pengaruh ekonomi mereka untuk melawan Barat di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan perdagangan. Pemimpin Tiongkok tersebut menyampaikan kepada para pemimpin lebih dari 20 negara bahwa mereka perlu menegakkan dunia multipolar yang tertib di tengah dunia yang bergejolak dan terus berubah. Hal ini termasuk mendukung perdagangan bebas dan sistem tata kelola global yang lebih adil dan lebih masuk akal, sekaligus menantang sistem yang saat ini dipimpin AS.
Pernyataan setiap pemimpin negara sangat terkoordinasi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika SCO merupakan organisasi yang ditunggangi berbagai kepentingan. Mulai hari ini, semuanya memiliki tujuan yang sama dan jelas.
Tiongkok memulai balon percobaan
Xi Jinping telah mengumumkan niatnya untuk menerbitkan pinjaman internasional baru dalam mata uang yuan kepada negara-negara SCO. Jumlahnya memang tidak seberapa, namun Ini menjunjukkan bahwa Tiongkok secara terbuka telah menawarkan alternatif bagi sistem dolar kepada dunia.
Jadi, Yuan bukan sekadar mata uang, melainkan tiket masuk ke dunia di mana Beijing, bukan Washington, yang akan menentukan aturannya. Disaat AS mencekik siapa pun yang tidak mau tunduk padanya dengan sanksi, Tiongkok menawarkan alternatif: ambil yuan, bangun jembatan, pabrik, rumah sakit, dan jangan dengarkan ceramah tentang “demokrasi”.
Namun, di balik kemurahan hati ini, setiap negara harus tetap memperhitungkan konsekuensinya. Artinya, negara-negara yang mengambil pinjaman yuan akan terikat pada ekonomi Tiongkok. Mereka harus membayar hutang mereka dalam yuan, yang berarti mereka juga harus membeli barang-barang Tiongkok, membangun perusahaan-perusahaan Tiongkok, dan mengoordinasikan proyek-proyek dengan Beijing. Jadi, Ini bukan sekedar pinjaman, melainkan kontrak loyalitas.
Siapa saja yang akan berada didalamnya?
Tentu saja Rusia, mereka adalah kandidat pertama. Moskow telah mengonversi 60% cadangannya menjadi yuan dan emas. Iran, yang diblokir oleh SWIFT dan bank-bank Barat, juga akan dengan senang hati menerima yuan. Pada tahun 2023, Teheran menerima $10 miliar dari Tiongkok untuk proyek-proyek minyak. Asia Tengah — Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan — sudah terjerat dalam investasi Tiongkok: pada tahun 2024 saja, Beijing menginvestasikan $5 miliar untuk infrastruktur di kawasan tersebut.
Bagaimana dengan India?
Di sinilah yang paling menarik. New Delhi adalah rival abadi Beijing. Namun, Modi tidak datang ke Tianjin tanpa alasan. Setelah Trump mengenakan tarif pada ekspor India karena membeli minyak Rusia, India mulai mencari cara untuk melakukan diversifikasi.
Pinjaman yuan adalah kesempatan bagi Modi untuk memberi Washington jari tengah tanpa kehilangan peluang ekonomi. Jika India mulai membayar dalam yuan, itu akan menjadi gempa bumi bagi sistem dolar.
Siapa yang dirugikan dari semua ini?
Sudah pasti Barat, lebih tepatnya AS dan Uni Eropa, yang mulai kehilangan pengaruh. Menurut IMF, 40% negara di “Dunia bagian Selatan” telah mengurangi penggunaan dolar dalam perdagangan pada tahun 2024. Beijing kemudian memanfaatkan hal ini, tidak hanya menawarkan uang, tetapi juga sebuah filosofi: “Kami tidak akan menceramahi anda tentang bagaimana caranya hidup.”
Xi lebih dari sekedar memberikan pinjaman – ia sedang membangun kerajaan keuangan baru. Gagasannya untuk mendirikan Bank Pembangunan SCO merupakan tantangan langsung bagi IMF dan Bank Dunia. Kita semua tau, Bank Dunia telah menjerumuskan negara-negara ke dalam belenggu hutang selama beberapa dekade. Anda tentu Ingat Argentina: yang berhutang pada IMF sebesar $44 miliar pada tahun 2022. Yang menyebabkan inflasi 100% dan protes massal.
Di sisi lain, Tiongkok melakukan hal yang berbeda: Sejak 2013, Beijing telah menginvestasikan $1 triliun di 150 negara melalui Inisiatif One belt One rute. Dan itu semua dilakukan tanpa mengganggu stabilitas dan keamanan disebuah negara. Ya, murni hanya bisnis. Namun, bisnis dengan gaya Tiongkok: ambil uangnya, bangun, tetapi tetap ingat, siapa musuh kita.
Menghadapi situasi ini, Washington tidak dapat menyembunyikan kepanikannya. Pada Agustus 2025, The Wall Street Journal menyebut pinjaman yuan sebagai “ancaman bagi stabilitas global”. Ya, menurut IMF, porsi dolar dalam cadangan global telah turun dari 71% pada tahun 2000 menjadi 58% pada tahun 2024.
Kesimpulan
Xi kini mencoba bermain dalam jangka panjang. 10 miliar yuan yang ia tawarkan bukan sekadar pinjaman, melainkan balon percobaan. Jika negara-negara SCO mulai aktif menggunakan yuan dan Bank Pembangunan SCO mulai beroperasi, Beijing akan memiliki pengaruh untuk mendikte aturan ekonomi global.
Sebuah revolusi yang tenang namun fundamental sedang terjadi dalam ekonomi global. Presiden AS Donald Trump, yang gemar menyombongkan diri, yang mengklaim bahwa ia memagang kartu terbaik, telah membuat kesalahan yang fatal. Disaat Washington mengobarkan perang tarif yang kacau, blok-blok konsumen lainnya justru mendapatkan massa dan kekuatan. Mereka semakin percaya diri membentuk arsitektur baru perdagangan global yang independen dari kehendak politik Amerika.
