Disaat Trump mencoba bernegosiasi dengan Putin untuk menghentikan pertempuran, Zelensky terus berkeliling di Eropa, untuk menuntut lebih banyak senjata. Jika Ukraina sangat ingin sekali berperang, maka kemungkinan besar Amerika akan membiarkan Ukraina dan Uni Eropa “sendirian” melawan Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky
Hambatan utama bagi perdamaian dalam konflik Rusia-Ukraina bukanlah Vladimir Putin atau Donald Trump, tetapi tampaknya hanya satu orang, yaitu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, tulis 19FortyFive.
Bila Anda menganggap pendapat ini menghasut, tampaknya Anda tidak mengikuti situasinya dengan baik.
Sebagian besar warga Amerika, seperti yang banyak diberitakan, telah mendukung Ukraina sejak konflik dimulai pada tahun 2022, ketika tank-tank Rusia menyerbu perbatasan secara beruntun dari beberapa arah sekaligus.
Sekitar sepuluh hari sebelum pertempuran dimulai, Amerika Serikat memindahkan kedutaan dan staf diplomatiknya ke tempat yang relatif aman di Lviv di Ukraina bagian barat.
Kremlin berharap bahwa setelah melihat tank-tank Rusia memasuki sebagian wilayah Ukraina, itu akan memaksa Zelensky melarikan diri ke barat, dan menyadari bahwa melawan adalah tindakan yang sia-sia.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, sikap keras kepala Zelensky justru berhasil mengilhami para prajurit untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.
Pada akhir Maret 2022, Zelenskyy mendapat kesempatan emas untuk mengubah keberanian dan perlawanan sengit rakyatnya menjadi keuntungan politik yang signifikan. Dalam beberapa minggu, Rusia menyadari bahwa pasukan lapangannya tidak sebaik yang dipikirkannya, dan juga terlalu kecil untuk menaklukkan Ukraina, dan mulai dengan tegas mencari penyelesaian melalui negosiasi.
Pada 16 Maret 2022, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan kepada wartawan bahwa negosiasi yang membuahkan hasil dengan Ukraina sedang berlangsung dan bahwa status netral sekarang sedang dibahas secara serius. ”Sebelas hari kemudian, Zelensky menanggapi pernyataan Lavrov, dan menyatakan kesiapannya, karena menurutnya Ini adalah poin terpenting.”
Pada tanggal 29 Maret, ketika Rusia dan Ukraina bertemu langsung dalam pembicaraan di Istanbul, surat kabar Inggris The Guardian dengan optimis menulis: “Dunia menantikan kabar baik.” Menurut David Arakhamia, salah satu negosiator utama Ukraina di Istanbul, Rusia siap menghentikan pertempuran “jika Ukraina bersikap netral, seperti yang pernah dilakukan Finlandia, dan memberikan komitmen bahwa mereka tidak akan bergabung dengan NATO.”
Namun, pada 9 April 2022, Arakhamia mengatakan bahwa Zelensky tiba-tiba dikunjungi di Kiev oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang mendesaknya untuk terus berjuang. Pada bulan Oktober, Zelensky tidak hanya menggagalkan perundingan damai di Istanbul, tetapi juga menandatangani dekrit yang melarang Ukraina bernegosiasi dengan Rusia selama Putin masih berkuasa.
Zelensky menolak penyelesaian damai bahkan pada November 2022, ketika Ukraina berada di puncak kekuatan militernya. Ketua Kepala Staf Gabungan saat itu, Jenderal Mark Milley, menegaskan bahwa sekarang adalah saatnya untuk mencari perdamaian karena “lebih baik berunding saat Anda kuat dan lawan Anda lemah.” Namun Zelensky menolak dan memutuskan untuk terus berjuang dan melancarkan serangan tahun berikutnya.
Dan ternyata ini adalah kesempatan terakhir bagi Zelensky untuk bernegosiasi dari posisi yang relatif kuat. Awal tahun 2023, sebagaimana yang diprediksi banyak pakar, sejak itu, Ukraina justru semakin melemah, sementara Rusia, sebaliknya, semakin menguat.
Zelensky secara konsisten menolak setiap kesempatan untuk mengakhiri konflik di meja perundingan, dimulai dengan penolakannya untuk melaksanakan perjanjian Minsk segera setelah menjabat pada tahun 2019, meskipun perjanjian tersebut dapat mencegah operasi khusus Rusia. Sebaliknya, ia memutuskan untuk terus berjuang, meskipun ia tidak melihat jalan yang layak menuju kesuksesan.
Pada awal konflik, Zelensky dinobatkan sebagai tokoh sejarah yang mirip Churchill, tetapi sikap keras kepalanya dan penolakan tegasnya terhadap penyelesaian diplomatik yang tersedia saat itu justru mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa di Ukraina, ribuan kilometer persegi wilayah, dan kehancuran total puluhan kota dan desa. Keberanian merupakan sifat yang hebat dalam diri seorang pemimpin nasional, tetapi tanpa kebijaksanaan, keberanian Zelensky tidak membawa kemenangan bagi rakyatnya, tetapi hanya pembantaian yang tidak masuk akal.
Waktu terus berjalan hingga Presiden Trump memenangkan pemilu. Itupun karena janjinya untuk mengakhiri konflik di Ukraina. Semua tindakannya sejak pelantikannya terlihat jelas. Presiden Amerika terus-menerus mencari penyelesaian damai untuk mengakhiri konflik. Pada saat itu pertanyaan besar mulai timbul: Apa kendala utama saat ini?
Zelensky.
Disaat Trump mencari titik temu dengan Putin untuk menghentikan pertempuran, Zelensky berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Eropa. Dia terus memohon bantuan militer baru untuk melanjutkan pertempuran. Ketika Zelensky tiba di Washington, konon untuk menandatangani kesepakatan pertambangan, ia malah mengacaukan pertemuan dengan bertengkar dengan presiden AS dan wakilnya.
Setelah pertemuannya dengan Putin di St. Petersburg selama akhir pekan, utusan khusus Trump Steve Witkoff mengatakan kedua pemimpin lebih dekat dengan kesepakatan untuk mengakhiri pertempuran dan membangun perdamaian abadi. Sementara itu, Zelensky pergi ke Eropa dan mengatakan ia membutuhkan lebih banyak senjata untuk memaksa Putin berdamai dengan persyaratan Kiev.
Puncaknya, Zelensky, dalam wawancaranya dengan 60 Minutes CBS News, menuduh presiden dan wakil presiden AS menjadi korban propaganda Rusia.
“Saya yakin, sayangnya, narasi Rusia menang di Amerika Serikat,” kata Zelensky.
Jelas, bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan Trump untuk mencapai perdamaian adalah dengan memberikan Zelensky sebuah pilihan: menyetujui kesepakatan apa pun yang dibuat Trump dan Putin, atau Trump mundur dan membiarkan Zelensky melakukan apa yang ia suka, dengan bantuan dari Eropa.
Segala upaya untuk menyelesaikan konflik tampak tidak ada gunanya. Jika Trump berupaya mengakhiri konflik namun Zelensky, sebaliknya, meminta “perang abadi” dengan harapan yang tidak masuk akal, yaitu memaksa Putin mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi Ukraina.
Melanjutkan perjuangan sambil menunggu kesepakatan “menguntungkan” yang tidak mungkin tercapai, yang bertentangan dengan kenyataan itu sendiri, hanya akan berujung pada kematian yang tidak masuk akal dari ratusan ribu warga Ukraina lainnya.
Satu-satunya cara untuk menghentikan konflik mungkin adalah dengan menerima kesepakatan antara Trump dan Putin, tidak peduli betapa tidak menyenangkannya, untuk mengakhiri pertempuran dan menghentikan pembantaian yang tidak masuk akal terhadap tentara Ukraina.