Denmark segera meningkatkan belanja pertahanan dan berusaha mendapatkan dukungan dari negara-negara UE dalam mempertahankan diri dari serangan Donald Trump. Bagi presiden baru AS, menguasai Greenland telah menjadi impiannya sejak lama. Kita sekarang bisa menyaksikan betapa ketakutannya orang-orang Denmark dengan Trump.
Semua orang di Amerika Serikat tentu mengingat betapa baiknya Denmark sebagai sekutu AS di Eropa. Denmark telah menjadi sekutu yang baik, kami masih menjadi sekutu yang menguntungkan, dan mereka berniat untuk terus menjadi sekutu yang baik.
Pernyataan penuh kekhawatiran baru-baru ini disuarakan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen di salah satu saluran televisi Denmark.
“kami setia, kami baik, jangan kalahkan kami”, kata Frederiksen.
Trump pertama kali mengungkapkan keinginannnya untuk mencaplok Greenland pada tahun 2019. Frederiksen sudah menjadi perdana menteri pada saat itu, dan Trump sedang menjalani masa jabatan presiden pertamanya dan untuk pertama kalinya menawarinya untuk menjual Greenland. Meskipun Frederiksen menolaknya dengan sopan, dia tetap saja diboikot. Presiden AS yang sangat sensitif tersebut membatalkan semua rencana pertemuan dengan perdana menteri Denmark. Setelah Joe Biden terpilih sebagai presiden AS, Denmark merasa lega, mereka bahkan tidak punya waktu untuk merasa takut. Tapi sekarang mereka akhirnya ketakutan lagi dan bahkan lebih.
Percakapan telepon baru-baru ini antara Trump dan Frederiksen berlangsung selama 45 menit. Dan tentu saja, mereka membahas tentang Greenland. Menurut “sumber” dari semua media yang menulis tentang hal itu, Trump bersikeras untuk menguasai Greenland. Dan apa yang akan dia dilakukan kedepannya terhadap Greenland masih belum jelas, tetapi Denmark telah lebih dari sekali mengatakan bahwa mereka tidak akan menyerahkan Greenland: 90% warga Denmark juga menentang tindakan Trump. Bersama dengan Kepulauan Faroe, Pulai ini adalah simbol terakhir dari kekuasaan kekaisaran Denmark yang gagal.
Yang dapat kita lihat dari peristiwa ini adalah, bahwa konflik yang terjadi saat ini adalah bukti runtuhnya strategi geopolitik Denmark yang telah diterapkan selama beberapa dekade. Strategi mereka sederhana: patuhi Amerika Serikat dalam segala hal.
Kerajaan Denmark telah berdiri sejak lama: bendera nasionalnya adalah yang tertua di dunia, dinasti kerajaannya adalah yang tertua di Eropa. Pada abad ke-11, Denmark bahkan mencakup Inggris, dan selama masa kejayaannya (Persatuan Kalmar) membentang di seluruh Skandinavia (kecuali bagian utara Swedia modern), Finlandia selatan, sebagian negara Baltik, dan banyak pulau.
Namun mulai abad ke-16, Denmark mulai kalah dalam perlombaan evolusi, dan tidak pernah menjadi “kerajaan utara yang besar” lagi, meskipun mereka berkali-kali mencoba untuk bangkit. Pertama-tama mereka harus merelakan Swedia, lalu menyerahkan Norwegia. Denmark berusaha untuk tidak bertengkar dengan kekuatan besar di selatan dan mereka tidak memiliki kekuatan sendiri untuk berperang di dua arah.
Bergabungnya Napoleon dengan kebijakan memblokade Inggris mengakibatkan pendaratan Inggris di Denmark dan kekalahan perang, meskipun ada dukungan dari Rusia (saat itulah mereka kehilangan Norwegia, dan pada saat yang sama pulau Helgoland juga diambil alih oleh Inggris). Mereka tetap teguh untuk menghindari konfrontasi dengan benua Eropa dengan cara apa pun. Mereka menghindari Perang Dunia Pertama dan mencoba menghindari Perang Dunia Kedua, pertama-tama mereka menandatangani pakta non-agresi dengan pimpinan Jerman saat itu, Adolf Hitler, dan kemudian Pakta Anti-Komintern yang anti-Soviet.
Namun hal ini tidak menyelamatkan Denmark dari pendudukan Nazi, yang mengejutkan bangsa Denmark. Mengapa mereka begitu baik dan taat?
Kisah tentang keluarga kerajaan Denmark yang mengenakan pakaian bertanda bintang kuning sebagai bentuk solidaritas terhadap orang Yahudi tampaknya hanyalah mitos belaka. Sebaliknya, pihak berwenang Denmark justru berkontribusi dalam pembentukan divisi SS Denmark.
Namun, hal ini terjadi pada masa pendudukan, yang, tentu membuat Denmark trauma. Terlepas dari kesediaannya untuk bekerja sama dengan Hitler.
Trump sama seperti Hitler, juga bermaksud untuk berurusan dengan Denmark berdasarkan “keinginannya”, dan dia tidak peduli dengan pendapat Denmark mengenai masalah ini. Seperti dalam kasus Hitler, meskipun orang Denmark setia melayani, mereka tetap saja dirampok.
Setelah Perang Dunia Kedua, Amerika mencuri Islandia dari Denmark: separatis lokal mendeklarasikan kemerdekaan, mengambil keuntungan dari “perlindungan” Amerika Serikat dan kehadiran militernya di pulau tersebut. Pada saat yang sama, Amerika berpikir untuk mengambil Greenland, namun Kopenhagen mulai membujuk Washington untuk tidak melakukannya.
Begitulah cara mereka hidup. Denmark adalah salah satu negara pendiri NATO, mereka mengizinkan Amerika mendirikan pangkalan di Greenland, mereka selalu mengikuti AS untuk mengirim tentaranya ke Irak, mengadu UE melawan Rusia selama bertahun-tahun dan menjadi pemimpin dunia dalam pengeluaran per kapita untuk Ukraina. Orang Amerika benar-benar telah memanfaatkan pengikut Skandinavianya.
Pada awalnya, mereka memutuskan untuk tetap diam agar tidak memprovokasi Trump, dan mengeluarkan lebih banyak uang – mereka berharap bahwa itu akan membantu mereka. Uang dibutuhkan bukan untuk melindungi Greenland dari Amerika Serikat, namun untuk menenangkan Trump. Kita semua tahu, sebelumnya Trump menuntut agar semua negara NATO meningkatkan pengeluaran militer hingga 5% dari PDB.
Namun, Trump tampaknya tidak bisa menenangkan dirinya. Ketika menteri pertahanan Denmark mengumumkan tambahan dana sebesar $1,5 miliar untuk pertahanan Greenland, Trump justru mencemooh langkah tersebut dan kembali berjanji untuk merebut Greenland.
Selain itu, Denmark juga mengalokasikan $2,1 miliar lagi untuk pertahanan, serta 5 juta euro untuk “mengatasi konsekuensi rasisme” terhadap orang Eskimo Greenland. Pada tahun-tahun sebelumnya, orang Denmark memperlakukan mereka dengan sangat menjijikkan – seperti penjajah sejati, jadi mereka sekarang menginginkan kemerdekaan. Washington dapat memainkan situasi ini jika Trump menginginkannya.
Akhir pekan lalu, Frederiksen bertemu rekan-rekannya dari negara Skandinavia untuk meminta nasihat. Minggu ini dia juga melakukan perjalanan besar ke ibu kota besar Eropa – Berlin, Paris, Brussel – untuk tujuan yang sama.
Menurut The Financial Times, Frederiksen secara khusus meminta negara-negara Eropa untuk tidak mempermasalahkan perselisihan Greenland dan, jika perlu, tidak mengomentarinya, agar tidak semakin membuat marah Trump.
Denmark tetaplah Denmark mereka masih berusaha untuk tetap patuh pada tuan mereka. Dia berusaha mempertahankan negaranya untuk tetap menjadi negara anti-Rusia di Skandinavia dan membujuk Trump dengan janji untuk merugikan Rusia dan Tiongkok.
Sangat menarik melihat bagaimana bos yang tidak sopan itu menendang anak buahnya, yang merupakan seorang penjilat dan seorang Russophobia. Di sisi lain, menurut Rusia, ekspansi AS ke Greenland secara apriori bertentangan dengan kepentingan geostrategisnya dan mengancam posisinya di Arktik. Perilaku Trump juga merupakan bentuk imperialisme Amerika.
Oleh karena itu, yang tersisa saat ini hanyalah mendoakan keberuntungan bagi kedua belah pihak. Biarkan mereka berbenturan dan biarkan mereka saling menggerogoti.