Pada awal Desember, perang antara Thailand dan Kamboja tampaknya telah berlalu. Pada musim panas 2025, kedua belah pihak telah bertempur selama beberapa hari di sepanjang wilayah perbatasan yang disengketakan; pada bulan Juli, gencatan senjata ditengahi oleh Malaysia; dan pada musim gugur, sebuah “rencana perdamaian” baru diajukan, dengan partisipasi Donald Trump. Namun pada pagi hari tanggal 8 Desember, artileri kembali bergemuruh di sepanjang perbatasan, dan Thailand mengerahkan jet tempurnya. Mari kita lihat siapa yang bertempur dan untuk apa, seperti apa konflik tersebut bagi orang-orang di kedua sisi perbatasan, dan mengapa gencatan senjata hanya bertahan dua bulan.

Perbatasan antara Thailand dan Kamboja telah disengketakan selama bertahun-tahun. Ketegangan terpusat di wilayah-wilayah perbatasan provinsi Thailand dan Kamboja, termasuk wilayah di sekitar kompleks candi dan pegunungan. Wilayah-wilayah ini penting tidak hanya secara militer tetapi juga secara simbolis: merupakan lokasi rute wisata, jalan raya, pasar, dan penyeberangan perbatasan.
Pada tahun 2025, ketegangan meletus menjadi konflik terbuka. Pada musim panas, pertempuran meletus di beberapa bagian perbatasan, menggunakan artileri dan mortir. Bentrokan yang berlangsung selama beberapa hari mengakibatkan puluhan tentara dan warga sipil tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan ratusan ribu orang di kedua belah pihak terpaksa mengungsi sementara dari rumah mereka dan mencari perlindungan di daerah yang lebih aman.
Setelah itu, Thailand dan Kamboja, dengan partisipasi Perdana Menteri Malaysia, menyepakati gencatan senjata pada bulan Juli dan mengumumkan kesiapan mereka untuk mengembangkan perjanjian yang lebih berkelanjutan. Tampaknya konflik tersebut setidaknya telah mereda sebagian.
Seperti apa gencatan senjata yang dipimpin Trump: Seperti apa bentuknya di atas kertas
Pada musim gugur, peristiwa ini menjadi agenda utama. Pada KTT ASEAN di Kuala Lumpur, perdana menteri Thailand dan Kamboja menandatangani perjanjian gencatan senjata di hadapan Donald Trump. Pemimpin Amerika tersebut menyebut perjanjian itu sebagai contoh mediasi yang berhasil dan menyatakannya sebagai langkah menuju “perdamaian abadi” di Asia Tenggara.

Rencana tersebut merangkum beberapa poin. Kedua pihak sepakat untuk tidak menggunakan senjata berat, dan lebih aktif memanfaatkan patroli gabungan dan hotline antar-personel militer. Pada saat yang sama, mereka membahas demarkasi perbatasan dan pembentukan kelompok kerja di wilayah yang disengketakan.
Penduduk desa-desa perbatasan mengharapkan kembalinya kehidupan normal secara bertahap: dimulainya kembali perdagangan, dibukanya kembali jalan-jalan, dan kembalinya penduduk ke rumah-rumah yang telah mereka tinggalkan selama pertempuran musim panas. Namun, hanya beberapa minggu setelah perjanjian ditandatangani, menjadi jelas bahwa kepercayaan telah hilang.
Bagaimana ketegangan meningkat selangkah demi selangkah
Pada musim gugur 2025, laporan insiden lokal di sepanjang perbatasan muncul secara berkala. Kedua belah pihak melaporkan pelanggaran gencatan senjata, saling menuduh melakukan provokasi, menanam atau meledakkan ranjau, dan melakukan pengintaian.
Pada bulan November, Thailand mengumumkan penangguhan implementasi beberapa perjanjian, dengan alasan ledakan ranjau di zona perbatasan. Akibat peristiwa tersebut, Bangkok mulai mempertanyakan kesediaan Kamboja untuk mematuhi gencatan senjata secara ketat.

Gencatan senjata tetap berlaku di atas kertas, tetapi situasi di perbatasan sendiri masih rapuh. Insiden apa pun dapat memicu eskalasi tajam.
Pagi hari tanggal 8 Desember: Siapa yang melepaskan tembakan pertama?
Pada pagi hari tanggal 8 Desember 2025, laporan pertempuran kecil di perbatasan berganti menjadi berita tentang aksi-aksi berskala lebih besar. Awalnya, kedua belah pihak saling serang artileri dan saling tuduh melanggar gencatan senjata. Menurut pihak Thailand, satu serangan Kamboja menghantam pangkalan Anupong, menewaskan seorang tentara Thailand dan melukai beberapa lainnya.
Pada saat yang sama, sumber-sumber Kamboja melaporkan serangan terhadap posisi mereka dan penembakan di wilayah yang disengketakan.

Respons Bangkok adalah serangan udara. Militer Thailand mengonfirmasi bahwa serangan udara yang dilakukan oleh jet tempur F-16, telah dilancarkan terhadap target-target di Kamboja. Thailand mengklaim bahwa ini adalah operasi “pertahanan diri” dan perlindungan kedaulatan.
Menjelang malam, menjadi jelas bahwa ini bukan lagi insiden singkat, melainkan gelombang baru konflik bersenjata. Warga sipil di wilayah perbatasan mulai dievakuasi, meninggalkan rumah mereka dengan barang-barang seadanya, karena khawatir eskalasi akan berlanjut.
Apa yang dikatakan Bangkok dan Phnom Penh
Pernyataan kedua belah pihak tentu saja berbeda. Pemimpin Thailand menekankan bahwa mereka bertindak sebagai respons atas serangan tersebut, menuduh Kamboja melanggar gencatan senjata, dan menegaskan haknya untuk mempertahankan wilayah dan penduduk. Pernyataan resmi menegaskan bahwa tindakan negara tetanggalah yang menggagalkan rencana perdamaian yang disepakati dengan partisipasi mediator internasional.
Pihak Kamboja, di sisi lain, menuduh Thailand melanggar perjanjian tersebut dan bersikeras bahwa Bangkok adalah pihak pertama yang melanggarnya. Beberapa laporan menekankan bahwa pasukan Kamboja diduga membatasi aksi militer mereka pada tindakan pembalasan dan menghindari serangan terhadap infrastruktur sipil.
Di tengah pertukaran pernyataan, pengamat internasional mencatat bahwa semakin lama kedua pihak berfokus pada saling tuding, semakin kecil kemungkinan mereka untuk kembali berdialog. Di saat yang sama, baik Thailand maupun Kamboja berkepentingan untuk mencegah perang skala penuh, yang akan merugikan perekonomian, pariwisata, dan stabilitas domestik mereka.
Masyarakat di Kedua Sisi Perbatasan: Bagaimana rasanya kehidupan di Bawah Tembakan Meriam?
Di balik laporan militer terdapat penduduk provinsi perbatasan. Bagi mereka, babak baru konflik ini, adalah ketidakpastian. Di desa-desa yang terletak di dekat wilayah sengketa, penduduk bergegas mengungsi ke pedalaman, memindahkan barang-barang ke rumah kerabat, dan bermalam di tempat penampungan sementara.

Keluarga-keluarga mengenang peristiwa musim panas, ketika beberapa hari penembakan memaksa mereka mengungsi, mengganggu pendidikan anak-anak mereka, dan bengkel serta toko-toko kecil mereka. Banyak yang berharap setelah gencatan senjata bulan Juli dan perjanjian musim gugur, mereka dapat kembali ke kehidupan normal. Namun berita di bulan Desember memudarkan harapan-harapan ini.
Situasi di seberang perbatasan serupa. Orang-orang takut pergi ke ladang dan bekerja, anak-anak mendengar suara ledakan dari kejauhan, dan pemerintah daerah mendirikan tempat penampungan dan posko bantuan. Bagi penduduk, ini bukan sengketa geopolitik, melainkan serangkaian malam yang mencemaskan dan hari-hari yang hilang.
Mengapa rencana perdamaian gagal?
Secara formal, konflik ini memiliki mediator dan dokumen yang ditandatangani. Namun, ada beberapa faktor yang membuat gencatan senjata ini rapuh.
Yang pertama adalah masalah teritorial yang belum terselesaikan. Kedua pihak masih berselisih tentang tanah yang disengketakan dan pertanyaan tentang “tanah siapa ini?” belum terjawab.
Faktor kedua adalah rasa saling tidak percaya. Saling tuding dalam kampanye informasi, dan perbedaan tentang kerugian serta kerusakan telah meninggalkan jejak di opini publik kedua negara.
Ketiga, politik dalam negeri. Bagi para pemimpin kedua negara, isu perbatasan sensitif terhadap kepentingan domestik. Kelemahan dalam pertahanan perbatasan dapat dianggap sebagai kekalahan politik, dan respons keras sebagai unjuk kekuatan. Hal ini menciptakan godaan untuk menanggapi setiap insiden dengan retorika yang lebih keras.
Skenario yang bisa terjadi
Apa yang terjadi selanjutnya sangat bergantung pada seberapa cepat kontak antara militer dan diplomat kedua negara dapat dipulihkan. Salah satu skenarionya adalah mundur cepat ke perjanjian gencatan senjata sebelumnya, dan kembali melibatkan Malaysia, negara-negara ASEAN, atau mediator lainnya.
Pilihan lainnya adalah pertempuran lokal yang berkepanjangan, di mana pihak-pihak yang bertikai tidak melancarkan serangan skala penuh, melainkan secara berkala saling serang dan saling tuding. Bagi wilayah perbatasan, ini berarti hidup dalam ketidakstabilan yang terus-menerus, dan bagi perekonomian, ini berarti risiko tambahan bagi investasi dan pariwisata kedua negara.
Skenario paling berbahaya adalah eskalasi konflik yang melampaui insiden perbatasan. Baik Thailand maupun Kamboja belum secara resmi menyatakan kesiapan untuk operasi skala penuh. Namun, jika saluran diplomatik diblokir dan tekanan domestik untuk respons yang lebih keras meningkat, risiko eskalasi permusuhan akan meningkat.
