Sikap pemerintah Indonesia yang menolak bantuan internasional dalam menangani bencana di Sumatra menuai kritik. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi usai banjir dan longsor diyakini akan berjalan lamban. Pemulihan wilayah yang terdampak diperkirakan akan membutuhkan waktu 30 tahun.

Foto: REUTERS / Ajeng Dinar Ulfiana
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri, menggambarkan keputusan menolak bantuan asing itu seperti “mengabaikan masalah atau menyangkal kenyataan” atas realita yang sebenarnya. Perbaikan kehidupan warga usai bencana, kata dia, membutuhkan banyak sumber daya.
Pemulihan di seluruh wilayah terdampak banjir dan longsor Sumatra diperkirakan bisa memakan waktu hingga 20-30 tahun, jika sepenuhnya bergantung pada kemampuan pemerintah, kata mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman.
Lebih lanjut, Kamaruzzaman menyebut bencana ini berpotensi membuat kemiskinan di Aceh meningkat.
Negara mana saja yang menawarkan bantuan ke Indonesia?
Sejumlah negara menyampaikan ucapan belasungkawa atas peristiwa banjir bandang dan longsor yang menewaskan setidaknya 916 orang di tiga provinsi di Sumatra.
Para pemimpin negara tersebut di antaranya Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, Presiden Rusia Vladimir Putin, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman bin Abdulaziz Al Saud, Presiden Iran Masoud Pezeshkian, Raja Charles III, dan Duta Besar Uni Emirat Arab Abdulla Salem Al Dhaheri. Negara-negara lain yang juga mengucapkan duka mendalam adalah Oman, Qatar, Kazakhstan, Vietnam, Kuwait, Armenia, hingga Amerika Serikat. Para pemimpin negara tersebut, tidak hanya menyampaikan simpati, tapi berkomitmen untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada Indonesia.
Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, misalnya mengatakan bahwa bantuan yang diberikan adalah wujud persahabatan yang terjalin lama dengan dua negara di Asia Tenggara: Indonesia dan Thailand.
Melalui Kedutaan Besar Jepang di Thailand, pemerintah Jepang mengirim bantuan darurat berupa tenda, alas tidur, selimut, terpal plastik, wadah air, dan alat pemurni air.
Niat yang sama juga diutarakan Dubes UEA untuk Indonesia Abdulla Salem Al Dhaheri.
“Kami akan selalu mendukung permintaan Indonesia, asalkan mereka mengatakan ‘Ya, Indonesia terbuka untuk upaya internasional’,” ucapnya di Jakarta, Jumat pekan lalu, seperti dikutip Antara.
Presiden Iran, Masoud Pezeskhian, turut menyampaikan hal serupa. Dia berkata Iran siap memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan darurat yang komprehensif ke wilayah yang terdampak.
Bantuan itu diharapkan mampu mengatasi dampak bencana alam banjir dan longsor dengan cepat sehingga kondisi bisa kembali normal.
Mengapa Indonesia menolak bantuan Internasional?
Meskipun sudah banyak tawaran, Presiden Prabowo Subianto percaya bahwa pemerintahannya sanggup menangani bencana banjir Sumatra tanpa bantuan pihak luar.
“Bencana ini sekali lagi, musibah. Tapi di sisi lain menguji kita. Alhamdulillah kita kuat, kita mengatasi masalah dengan [kekuatan] kita sendiri,” ucap Prabowo di Hari Ulang Tahun ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta.
Prabowo mengatakan bahwa upaya keras pemerintah mengatasi situasi pasca-bencana air bah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terhambat ruas jalan darat yang putus akibat tertimbun material longsor dan sebagian lagi hancur diterjang banjir yang turut menghanyutkan gelondongan kayu berukuran besar.
“Akibat bencana di Sumatra, kita kesulitan mengantar BBM ke daerah-daerah bencana. Jembatan putus, BBM harus kita naikkan ke pesawat, sebagian lewat kapal,” kata Prabowo.
Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan keyakinannya terhadap kekuatan pemerintah dalam menanggulangi bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Dia berkata, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum membuka bantuan internasional untuk bencana di tiga provinsi tersebut.
“Saya yakin kita bisa menyelesaikan masalah ini,” ujar Sugiono.
Pemerintah, menurut Sugiono, baru akan meminta bantuan kepada negara asing jika pemerintah merasa perlu.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemerintah memiliki Dana Siap Pakai (DSP) untuk penanggulangan bencana di Sumatra. Besaran anggarannya dalam APBN sekitar Rp500 miliar. Jika nominal itu kurang, kata dia, Presiden Prabowo akan mengalokasikan anggaran tambahan.
Betulkah pemerintah bisa mengatasi persoalan di lapangan?
Kenyataannya tidak demikian. Setidaknya tujuh bupati di Aceh telah menyatakan ketidaksanggupan dalam penanganan tanggap darurat banjir dan longsor yang menimpa wilayah itu pada pekan lalu. Ketujuh bupati tersebut antara lain, Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, Bupati Aceh Timur Iskandar Usman Al-Farlaky, dan Bupati Aceh Selatan Mirwan MS. Kemudian, Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi, Bupati Gayo Lues Suhaidi, Bupati Aceh Barat Tarmizi, dan Bupati Aceh Utara Ismail A. Jalil.
Pernyataan “menyerah” itu disampaikan lewat surat resmi. Salah satu contohnya tertuang dalam Salinan Surat Pernyataan Bupati Aceh Tengah Nomor 360/3654 BPBD/2025 tentang Ketidakmampuan Upaya Penanganan Darurat Bencana, terdapat tanda tangan Bupati Haili Yoga pada 27 November 2025.
Soal ketidaksanggupan para bupati Aceh tersebut dibenarkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Dia mengklaim para kepala daerah yang angkat tangan itu “bukan menyerah total”.
“Mereka tetap bekerja semampu mereka. Tapi ada yang mereka tidak mampu,” kata Tito.
Di beberapa daerah yang terdampak banjir dan longsor, sejumlah korban mengeluhkan lambannya gerak pemerintah menyalurkan bantuan.
Irlan, seorang korban banjir mengatakan bahwa warga di kampungnya disebut terisolir akibat jalan dan jembatan yang biasa dilewati menuju jalur utama dipenuhi lumpur hingga bebatuan besar juga kayu berdiameter besar.
“Kami terisolasi sejak bencana itu,” ungkapnya.
Irlan mengatakan hingga saat ini mereka masih kesulitan mendapatkan air bersih. Air sungai terlalu keruh dan tidak bisa dimanfaatkan. Warga akhirnya harus mencari air bersih dari anak-anak sungai yang diyakini belum tercemar.
Masalah kesehatan juga dikeluhkannya. Irlan ingin ada tim medis yang bersiaga di lokasi pengungsian pada siang dan malam hari alias 24 jam. Sedangkan pengamatannya mereka hanya ada di lokasi saat siang saja.
“Seperti kemarin malam, ada warga kami yang sesak napas dan kami terpaksa menggotongnya ke seberang sana untuk mendapatkan bantuan medis,” ujarnya. “Alasannya tidak ditempatkan di sini karena di sini tidak ada penerangan. Padahal kami di sini sudah gelap-gelapan dan hanya bermodalkan lilin sejak hari pertama terjadinya bencana.”
Apakah banjir Sumatra seharusnya ditetapkan menjadi bencana nasional?
Sejumlah pengamat menilai daya rusak yang besar akibat banjir bandang dan longsor di Sumatra membuat medan yang terdampak bencana sulit dijangkau. Imbasnya, upaya penyelamatan sudah pasti terhambat. Tapi masalahnya, situasi tersebut seperti tidak ditanggapi serius oleh pemerintah yang akhirnya membuat gerak pemerintah menjadi terkesan lambat.
“Bencana ini kan sebetulnya membutuhkan respon cepat. Tapi sense of crisis (kepekaan terhadap situasi) kurang sekali,” menurut mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman. “Respon cepat itu tidak dilakukan, mungkin karena ini statusnya bukan bencana nasional. Sehingga mereka [pemerintah] merasa tidak perlu merespon secara berlebihan, mungkin ya. Itu yang kami rasakan di sini.”
Sebagai orang yang pernah terlibat dalam penanganan bencana tsunami Aceh pada 2004, dia menilai bencana yang terjadi di Sumatra sudah bisa ditetapkan sebagai bencana nasional seperti halnya pada tsunami Aceh.
Dari jumlah korban, tsunami Aceh memang sangat besar yakni mencapai 13.000 orang meninggal, 37.000 hilang, dan 500.000 mengungsi. Sebab tsunami Aceh, kala itu, menyapu setidaknya delapan kabupaten termasuk Nias dan Sumatra Utara.
Namun banjir Sumatra, menurutnya, tak kalah memiliki skala kerusakan yang lebih besar. Kalau merujuk pada data BNPB, total ada 3,2 juta jiwa terdampak di 51 kabupaten di Sumatra-Aceh. Sebagian besar daerah yang terdampak, sepanjang pengamatannya, banyak di perkotaan.
“Banyak manusia yang terdampak. Belum dari sisi infrastruktur, seperti di Aceh. Jadi kalau secara ekonomi, ini yang paling parah terdampaknya,” tuturnya. “Bayangkan berapa banyak kebun, sawah, tambak yang terendam lumpur dan sudah pasti tidak bisa dipakai lagi. Sedangkan kalau tsunami Aceh itu mayoritas adalah pesisir.”
Gerak lambat sama saja mempertaruhkan nyawa?
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri, juga melontarkan kritik bahwa “upaya pemerintah kurang maksimal”. Menurutnya, pemerintah sebetulnya bisa mengerahkan sumber daya eksternal, misalnya perusahaan swasta, untuk mempercepat penyelamatan hingga pendistribusian bantuan. Tidak perlu hanya bergantung pada aparatur yang ada, mengingat banyak lokasi-lokasi yang terisolir.
“Seharusnya itu bisa dimaksimalkan untuk memastikan bantuan sampai ke wilayah-wilayah yang belum terjangkau. Seperti Sibolga, Aceh Tamiang, itu kan masih terkendala.”
Dia menjelaskan dalam standar operasi penanggulangan bencana, kecepatan menjadi suatu hal yang sangat penting. Tanpa itu, maka sama saja menambah panjang ancaman atau krisis bagi korban. Konsekuensi jika bantuan terlambat, maka pemulihan juga semakin lambat.
“Bisa-bisa warga yang menunggu terkena penyakit akibat bawaan [banjir] dan itu semakin mempersulit penanganan,” jelasnya. Belum lagi kalau ada korban yang membutuhkan akses obat-obatan yang rutin seperti pasien diabetes, TBC, darah tinggi, HIV, yang kalau terputus mereka akan semakin rentan.”
Apakah pemerintah harus membuka bantuan internasional?
Bagi Avianto Amri, pemerintah Indonesia mesti membuka pintu untuk bantuan internasional demi mempercepat pemulihan, termasuk rekonstruksi dan rehabilitasi.
“Saya melihatnya pemerintah [menolak bantuan internasional] seperti membenamkan kepalanya ke bawah tanah. Dengan melihat realita yang ada itu sebenarnya [dampaknya] besar, massif, dan butuh banyak sumber daya,” beber Avianto.
Mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman, sependapat. Ia mengingat ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka ruang bagi internasional dalam memberikan bantuan, selang 2-4 hari pasca-tsunami bantuan internasional langsung berdatangan ke Aceh. Daerah-daerah yang terisolir dijangkau dengan helikopter. Kapal-kapal militer negara lain bersandar di perairan Aceh demi memudahkan penyelamatan nyawa korban.
Intervensi pada masa darurat tersebut dibutuhkan untuk meminimalisir peningkatan jumlah korban jiwa apabila lambat ditangani. Tak hanya itu, dalam masa rekonstruksi dan rehabilitasi, BRR juga diberi waktu lebih cepat, empat tahun, untuk memulihkan wilayah-wilayah terdampak.
“Jadi dengan bantuan internasional, mereka [korban tsunami] bisa pulih lebih cepat. Walaupun ada dampak ekonomi yang panjang, tetapi secara fisik, mental, empat tahun kami sudah menyelesaikan banyak sekali yang terdampak,” bebernya.
Kala itu, katanya, BRR diberikan arahan untuk mengkoordinir bantuan asing yang masuk dan mendata semua hal yang dibutuhkan warga terdampak, mulai dari rumah hingga infrastruktur. Semua catatan itu akan dilaporkan kepada pihak pendonor untuk dikerjakan.
“Jadi kami tidak memegang uang secara fisik, donor bisa langsung bekerja berdasarkan data dari kami. Misal bangun jembatan, bangun rumah baru, segala macam. Sayangnya kami tidak sempat menyentuh pada aspek ekonomi masyarakat,” katanya.
Apa dampaknya jika hanya mengandalkan pemerintah?
Teuku Kamaruzzaman khawatir jika hanya mengandalkan kemampuan yang ada dan terbatas, maka pemulihan di tiga provinsi di Sumatra bakal memakan waktu lebih lama.
“Saya khawatirkan membutuhkan waktu paling tidak 20-30 tahun,” ucapnya.
Ia mendasarkan perkiraannya itu pada luasnya daya rusak akibat banjir dan longsor di 51 kabupaten. Kebun, sawah, tambak milik warga yang tertimbun lumpur setebal dua meter, mustahil bisa dipulihkan seperti semula. Warga, mau tidak mau, harus mencetak sawah baru. Belum lagi seluruh harta benda warga hanyut tersapu banjir. Baik materiil maupun immateriil.
Khusus untuk Aceh, menurutnya, bencana ini akan membuat kemiskinan di Provinsi Aceh lebih tertinggal lagi dari wilayah-wilayah lain.
“Sekarang ini Aceh baru membangun ketertinggalan dari wilayah lain karena kemiskinan paling tertinggal di Sumatra. Nah, akibat bencana ini, mereka kembali tertinggal. Karena ini [bencana] lebih dahsyat, secara ekonomi juga [menghancurkan] lebih besar. Karena alat-alat produksi masyarakat menjadi tidak bisa digunakan lagi,” sambungnya.
Untuk diketahui, Aceh masih menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatra, meskipun ada tren penurunan signifikan pada 2024-2025, mencapai rekor terendah dalam dua dekade (sekitar 12,3% pada Maret 2025).
Sementara itu, Avianto Amri menyarankan pemerintah membentuk badan sekelas BRR untuk memulai proses rekonstruksi dan rehabilitasi di Sumatra untuk mempercepat pemulihan. Sejauh pengamatannya, rekonstruksi dan rehabilitasi ala pemerintah sangat lamban dan tidak melibatkan masyarakat.
“Semuanya sangat top-down. Pemerintah langsung menentukan ini paketnya A, B, dan C. Pilih. Kalau mau pilih silahkan, kalau tidak, ya sudah. Hal-hal seperti itu justru kontraproduktif dan tidak membangun ketangguhan. Apalagi kalau dilepas ke pemda, sementara sekarang banyak pemda gelagapan menangani bencana. Jadi kalau masih menggunakan pola-pola yang sama, kami khawatir masyarakat justru semakin rentan,” pungkasnya.
