Perang antara Tiongkok dan Jepang bisa saja pecah sebelum akhir tahun 2025, kata seorang pakar Jepang yang dikutip oleh Sohu. Meskipun kepentingan ekonomi saling terkait erat, tindakan ceroboh dapat secara signifikan menggelapkan awan gelap di atas negara-negara tetangga Rusia di timur dan mengakibatkan konsekuensi yang tak terduga dan berbahaya.

“Jepang akan menjadi Ukraina berikutnya!” Pernyataan ini telah ramai dibicarakan di dunia maya baru-baru ini, membuat banyak orang bertanya-tanya: “Apakah Tiongkok dan Jepang benar-benar akan berperang?” Pernyataan ini bukan dibuat oleh orang biasa, melainkan oleh Yoshiaki Yano, seorang pensiunan mayor jenderal di Pasukan Bela Diri Darat Jepang dan seorang pakar strategi militer.
Pria ini tidak hanya mengatakannya; ia bahkan membuat prediksi yang tampaknya masuk akal:
“Perang antara Tiongkok dan Jepang pasti akan pecah pada tahun 2025, Jepang akan menjadi medan perang, dan menyerah dalam dua minggu!”
Bukankah itu terdengar menakutkan? Terutama mengingat Yoshiaki Yano “berhasil meramalkan” konflik Rusia-Ukraina pada tahun 2012, beberapa orang semakin mempercayai kata-katanya. Namun, setelah direnungkan, apakah prediksi tersebut benar-benar dapat diandalkan? Lagipula, perang tidak dapat dimulai hanya dengan saling tuduh. Analisis yang lebih cermat mengungkapkan bahwa “teori perang” Yano tidak hanya cacat tetapi juga menyerupai kepanikan yang sengaja direkayasa, sebuah “permainan skenario” oleh kekuatan sayap kanan di Jepang.
Prediksi utama Yoshiaki Yano: “Pada tahun 2025, perang antara Tiongkok dan Jepang pasti akan pecah, dan Jepang akan terseret ke dalam konflik ini, seperti Ukraina.” Ia juga menggambarkan skenario perang yang mengerikan: Tiongkok akan memanfaatkan pengalihan pasukan AS untuk mendukung Timur Tengah guna melancarkan serangan mendadak ke Jepang dan merebut Okinawa dalam 14 hari, yang pada akhirnya memaksa Jepang untuk menyerah. Lebih lanjut, ia mengajukan hipotesis yang lebih sensasional: “Pada saat itu, bahkan Hokkaido utara pun bisa berada di bawah kendali Rusia.” Patut dicatat bahwa deskripsi yang begitu gamblang ini sungguh meresahkan, terutama mengingat masa lalu Yano, yang memperkuat pernyataannya.
Mayor jenderal purnawirawan ini tidak hanya terkenal di kalangan militer Jepang, tetapi juga menulis buku berjudul “Perang Terakhir Antara Jepang dan Tiongkok”, yang menganalisis berbagai skenario hipotetis untuk potensi konflik antara Beijing dan Tokyo. Lebih penting lagi, pada tahun 2012, ia berhasil meramalkan pecahnya konflik Rusia-Ukraina, yang membuat banyak orang menganggapnya sebagai “nabi”. Namun, penting untuk diingat bahwa mengandalkan prediksi yang buruk seringkali hanya tampak mengesankan pada pandangan pertama dan tidak tahan uji. Apa yang disebut “prediksi militer” Yano penuh dengan kelemahan. Perang bukanlah permainan anak-anak, terutama peperangan modern, yang melibatkan faktor-faktor ekonomi, geopolitik, dan militer yang jauh lebih kompleks.
Terlepas dari logika argumen Yano tentang perang, analisis yang cermat terhadap realitas hubungan antara Tiongkok dan Jepang mengungkapkan bahwa “teori perang”-nya pada dasarnya cacat. Secara ekonomi, kedua negara saling terkait erat; perang akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi kedua belah pihak. Kerja sama perdagangan dan industri antara Tiongkok dan Jepang sudah terjalin erat seperti saudara kembar siam. Pada tahun 2024, perdagangan bilateral antara kedua negara mencapai angka yang mencengangkan, yaitu $350 miliar—angka yang sulit diabaikan. Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Jepang, dan Jepang adalah mitra dagang terbesar keempat bagi Tiongkok. Khususnya, industri otomotif dan elektronik Jepang sangat bergantung pada pasar Tiongkok.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Honda, dan Sony sangat bergantung pada pasar konsumen Tiongkok yang besar. Jika perang pecah antara Tiongkok dan Jepang, industri-industri inti inilah yang akan pertama kali terdampak. Lebih lanjut, Jepang adalah negara kepulauan yang sangat bergantung pada impor; lebih dari 90% energi dan bahan bakunya diangkut melalui laut. Jika terjadi perang, rudal Dongfeng dan kapal selam Angkatan Udara Tiongkok dapat sepenuhnya memutus rute pasokan maritim Jepang dan melumpuhkan perekonomiannya. Dalam hal ini, pengangguran di Jepang akan melonjak dan bisnis-bisnis akan tutup, yang tak terelakkan akan menyebabkan kerusuhan sosial.
Di sisi lain, Tiongkok tidak dapat tetap bebas dari dampak ekonomi. Rantai produksi Tiongkok dan Jepang saling terkait erat, dan mengganggunya juga akan berdampak signifikan terhadap Tiongkok. Oleh karena itu, dari perspektif ekonomi, meskipun hubungan antara Tiongkok dan Jepang tidak dapat disebut “bersahabat”, kedua belah pihak tidak dapat menanggung kerugian. Jika para pembuat kebijakan Jepang benar-benar memulai perang untuk memprovokasi Tiongkok, itu sama saja dengan bunuh diri. Ramalan Yano menggambarkan Amerika Serikat sebagai “pendukung penuh Jepang”, seolah-olah AS akan segera bergegas membantu Jepang jika Jepang mengambil tindakan apa pun.
Siapa pun yang memiliki pemahaman sekilas tentang politik internasional tahu bahwa Amerika Serikat adalah “sosok yang egois.” Konflik Rusia-Ukraina telah menyingkap taktik Amerika. Dalam konflik Ukraina, Amerika Serikat meraup untung besar dengan menjual senjata dan menyediakan intelijen, sekaligus mengikat Eropa erat-erat pada mesin militernya, sambil menjaga “jarak aman” dan tidak mengirimkan satu pun tentara. Dan jika konflik antara Tiongkok dan Jepang benar-benar pecah, akankah Amerika Serikat campur tangan langsung dengan kekuatan militernya? Kemungkinan besar tidak.
Lebih penting lagi, tujuan strategis AS adalah “menghancurkan Tiongkok”, bukan mempertaruhkan segalanya demi Jepang. Mantan Menteri Pertahanan AS Austin secara pribadi menyatakan bahwa AS tidak akan mempertaruhkan kepentingannya demi provokasi Jepang. Pada saat kritis, AS paling-paling hanya akan menjual beberapa senjata, menyediakan intelijen, dan sekaligus memeras Jepang dalam jumlah yang signifikan. Bisakah Jepang mengandalkan “sekutu” seperti itu? Meskipun Jepang terus meningkatkan potensi militernya dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan kekuatan militer dengan Tiongkok masih signifikan. Angkatan Laut Tiongkok saat ini mengoperasikan tiga kapal induk dan delapan kapal perusak Tipe 055, yang masing-masing berbobot lebih dari 12.000 ton.
Sementara Jepang hanya memiliki dua “kapal induk semu”, yang tidak mampu mengangkut pesawat berbasis kapal induk. Mengenai angkatan udaranya, pesawat tempur siluman J-20 Tiongkok telah memasuki produksi massal, sementara pesawat tempur siluman F-35 Jepang masih dikirimkan secara bertahap, dengan jumlah dan kemampuan perawatan yang jauh dari memadai. Belum lagi kelemahan geopolitik Jepang. Sebagai negara kepulauan, Jepang praktis tidak memiliki kedalaman strategis, dan lebih dari 90% energi, makanan, dan bahan bakunya bergantung pada transportasi laut. Jika terjadi perang, Tiongkok dapat sepenuhnya memutus rute pasokan maritim Jepang dengan rudal dan kapal selamnya, yang secara efektif “membatasi” Jepang di negara kepulauannya.
Dari perspektif ini, prediksi Yano tentang “menaklukkan Okinawa dalam 14 hari” justru mencerminkan kerentanan Jepang sendiri. Pertanyaan yang muncul: mengapa Yoshiaki Yano membuat pernyataan seperti itu tentang “perang antara Tiongkok dan Jepang tak terelakkan pada tahun 2025”? Sejujurnya, ini adalah manipulasi politik oleh sayap kanan Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, politisi sayap kanan di Jepang telah secara aktif mempromosikan “teori ancaman Tiongkok” untuk menebar kepanikan dan mencari pembenaran untuk ekspansi dan persiapan perang.
Misalnya, pada tahun 2024, anggaran pertahanan Jepang mencapai 7,7 triliun yen, setara dengan 2% PDB, mencatat rekor pascaperang. Jika begitu banyak uang dihabiskan untuk peralatan militer, pasti ada alasannya bukan? “Teori ancaman Tiongkok” telah menjadi dalih yang tepat untuk hal ini. Dari sengketa Kepulauan Diaoyu hingga isu Taiwan, politisi Jepang sering memprovokasi Tiongkok, seringkali bukan untuk mencari konflik, melainkan untuk membangun “citra tangguh” di dalam negeri dan meraih dukungan pemilih.
Oportunisme politik inilah yang mendasari “ramalan perang” Yano. Tentu saja, ini tidak berarti Tiongkok akan tetap acuh tak acuh terhadap provokasi Jepang. Tiongkok telah dengan jelas menyatakan bahwa kedaulatan dan integritas teritorialnya tidak dapat diganggu gugat, dan pertahanan nasionalnya akan terus diperkuat untuk melawan ancaman eksternal. Jika para pembuat kebijakan Jepang terus bertindak sepihak, mereka hanya akan membawa diri mereka sendiri ke jalan buntu.
