India dan Brasil Teguh pada Pendiriannya. Mendukung Rusia Demi Kepentingannya Sendiri?

Dua negara yang berperan penting dalam pendapatan minyak Rusia, India dan Brasil, telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Terlepas dari ancaman terbuka Washington, mereka telah menegaskan bahwa mereka akan terus membeli minyak Rusia. Mengapa negara-negara ini begitu bersikeras?

India dan Brasil Teguh pada Pendiriannya. Mendukung Rusia Demi Kepentingannya Sendiri?

Foto: Ton Molina / Keystone Press Agency / Global Look Press

Amerika Serikat secara terbuka mengancam mitra dagang utama Rusia. AS berencana menjatuhkan sanksi terhadap Tiongkok, India, dan Brasil untuk “memaksa diakhirinya pertempuran di Ukraina,” kata Duta Besar AS untuk NATO, Matthew Whitaker.

Namun, ancaman-ancaman tersebut sejauh ini gagal memberikan kesan yang baik bagi penerimanya.

“Saat ini, Brasil tidak lagi bergantung pada Amerika Serikat seperti dulu. Brasil kini memiliki hubungan dagang yang sangat luas dengan seluruh dunia. Dari sudut pandang ekonomi, kami jauh lebih bebas,” kata Presiden Brasil Lula da Silva.

Selain itu, Brasil sedang mengupayakan langkah-langkah balasan terhadap tarif AS. Disaat yang sama India juga terus mengimpor minyak dari Rusia.

Lalu, mengapa Lulu da Silva dan Narendra Modi tidak takut dengan ancaman Trump?

Mereka tidak bisa menunjukkan kelemahannya di hadapan lawan politik mereka

Di Brazil dan India, pernyataan pemimpin politik tentang hubungan dengan Amerika Serikat sebagian besar ditentukan oleh pertimbangan politik dalam negeri.

Bagi Brasil, ini merupakan konfrontasi antara Partai Buruh yang relatif berhaluan kiri, yang menyatakan kepatuhannya pada cita-cita sosialis (Lula da Silva muda termasuk di antara para pengorganisirnya pada tahun 1980) dan klan politik konservatif Brasil, Bolsonaro. Perwakilan paling menonjol dari klan ini adalah Jair Messias Bolsonaro, Presiden Brasil periode 2019–2023. Ia berganti banyak partai, tetapi secara konsisten tetap berada di posisi konservatif sayap kanan, dan dalam kebijakan luar negeri, ia secara konsisten menganjurkan agar Brasil mengikuti arahan Washington secara ketat.

Bagi Lula da Silva, penting untuk menuduh lawannya, salah satu pemimpin konservatif di parlemen, Eduardo Bolsonaro (putra mantan Presiden João Bolsonaro), atas tuduhan Nazisme dan pengkhianatan terhadap kepentingan negara. Dan karena Bolsonaro Jr., yang berusaha mendapatkan dukungan Washington, secara demonstratif mendukung semua keputusan penghuni Gedung Putih tersebut, wajar saja jika Lula da Silva mengambil posisi anti-Trump.

Situasi serupa terjadi pada Narendra Modi. Memang, ia mewakili kubu kanan spektrum politik India – Partai Bharatiya Janata, atau dalam terjemahan Indonesia – Partai Rakyat India. Yang dituduh oleh lawan-lawan politiknya sebagai nasionalis, ia tidak dapat tunduk kepada presiden Amerika begitu saja.

Keduanya, dalam satu atau lain bentuk, menyatakan keinginan mereka untuk “membuat negara mereka hebat kembali.” Keduanya memandang Tiongkok sebagai musuh geopolitik.

Namun, di sinilah kesamaan kepentingan antara kedua politisi tersebut berakhir. Modi tidak ingin terlibat dalam konfrontasi militer dengan Tiongkok demi kepentingan Amerika Serikat (dan tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Rusia). Ia juga tidak ingin melepaskan kerja sama militer-teknis dengan Rusia, bahkan dengan imbalan akses untuk membeli F-35 Amerika sekalipun.

Ada alasan lain yang sama antara Modi yang berhaluan kanan dan Da Silva yang berhaluan kiri.

Siapa saja yang akhirnya tunduk kepada Trump?

Negara mana saja yang tidak bisa melawan dan akhirnya tunduk pada Trump? Anehnya, mitra dekat mereka sendiri seperti Kanada, Inggris, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan tidak dapat melakukan apa pun selain tunduk pada Trump. Negara-negara tersebut harus menerima penurunan signifikan dalam persyaratan perdagangan dengan Amerika Serikat dan menanggung sejumlah kewajiban yang sulit.

Mengapa mereka akhirnya lebih lemah dalam negosiasi dibandingkan Brasil dan India (apalagi Rusia dan Tiongkok)? Karena mereka lebih bergantung pada AS. Karena mereka membutuhkan lebih banyak dari Washington, terutama di bidang militer-politik.

Eropa membutuhkan perlindungan Amerika untuk menjalankan kebijakan yang lebih agresif terhadap Rusia. Jepang dan Korea Selatan membutuhkan jaminan perlindungan Amerika terhadap Tiongkok. Pada akhirnya, semua negara ini telah lama menerima manfaat emisi dolar di Amerika Serikat – dan berharap dapat mempertahankan manfaat ini.

Namun, justru inilah yang mendorong negara-negara terkemuka di belahan bumi selatan untuk bersikap lebih independen terhadap Amerika Serikat. Perlu dipahami bahwa baik Brasil maupun India belum siap untuk terlibat dalam konfrontasi sengit dengan AS. Baik Da Silva maupun Modi akan secara resmi menyatakan keinginan mereka untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama dengan AS. Baik Brasil maupun India tidak akan mengambil langkah-langkah demonstratif yang dapat memicu reaksi emosional dari Donald Trump.

Upaya menghubungkan sistem pembayaran negara-negara BRICS di bawah kepemimpinan Dilma Rousseff akan terus berlanjut tanpa pernyataan keras. India mungkin mengurangi volume pembelian minyak Rusia, tetapi akan terus membelinya untuk mengisi kilang-kilangnya dan terus mendapatkan keuntungan dari pasokan produk minyak ke Eropa. Dan Pax Americana ekonomi global akan terus mencair secara bertahap, seperti bongkahan es bulan Maret di Sungai Volga, yang perlahan-lahan mengapung menuju Laut Kaspia.