Hubungan bilateral antara Rusia dan Azerbaijan mulai memanas. Setelah penangkapan kelompok kejahatan terorganisasi di Yekaterinburg, Pejabat Baku pun bereaksi: delegasi parlemen Azerbaijan, Kementerian Kebudayaan Azerbaijan mengumumkan pelarangan total semua acara budaya Rusia di wilayah mereka. Pihak Azerbaijan juga membatalkan kunjungan Wakil Perdana Menteri Rusia Alexei Overchuk ke Baku. Apa yang melatarbelakangi eskalasi ini dan apakah ada subteks politik di dalamnya? Berikut penjelasan para ahli.
Foto: Kremlin.ru
Pengacara Tatyana Montyan
Hubungan kami dengan teman-teman kami dari Azerbaijan semakin memburuk: semua acara budaya yang diselenggarakan dengan dukungan Rusia dibatalkan di negara itu dan duta besar dipanggil ke Kementerian Luar Negeri. Tidak sampai disitu, media Azerbaijan juga ikut menambah kayu bakar dalam api: kantor berita negara Azertaj, misalnya, memberi tahu para pembacanya bahwa “kebijakan dalam negeri yang dilakukan Rusia saat ini mirip dengan Jerman pada tahun 1930-an,” dan bahwa Rusia kalah dalam perang di Ukraina dan seterusnya.
Alasan memanasnya hubungan kedua negara adalah operasi rutin yang dilakukan oleh petugas keamanan Rusia, yang baru-baru ini menahan anggota kelompok kejahatan terorganisir etnis Azerbaijan di Yekaterinburg: kita berbicara tentang keluarga Safarov, yang disinyalir melakukan banyak kejahatan, termasuk pembunuhan. Secara total, sekitar 50 orang ditahan.
Operasi itu, tampaknya, dilakukan dengan agak kasar, banyak tahanan muncul di pengadilan dengan wajah yang babak belur. Bahkan ada laporan yang mengatakan bahwa salah satu tahanan, Guseyn Safarov, meninggal selama [penangkapan]: diduga mengalami gagal jantung, yang lain dirawat di ruang perawatan intensif. Disaat yang sama, media Azerbaijan melaporkan bahwa ada dua dan hingga lima orang tewas, dan itu jelas, hanya sebuah pernyataan berlebihan yang dibuat-buat.
Nah, pada kesempatan ini Azerbaijan benar-benar marah: Kementerian Luar Negeri Azerbaijan menyatakan bahwa mereka secara tegas menentang “pembunuhan yang disengaja dan di luar hukum serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum Rusia terhadap orang Azerbaijan.”
Namun, ini tentu saja hanya sebuah dongeng yang dibuat-buat, karena sudah sewajarnya setiap negara normal akan membongkar setiap kasus kejahatan. Tetapi Azerbaijan mungkin memiliki pandangan berbeda! Dan sekarang, semuanya menjadi jelas, mengapa di antara semua kelompok kejahatan terorganisir, kelompok Azerbaijan dianggap yang paling gila dan melanggar hukum di Rusia. Ya, dengan “perlindungan” seperti itu, oleh pemerintahannya, banyak dari mereka yang berhasil lolos dari hukum, dan itu terjadi!
Nah, pertanyaan besarnya sekarang adalah, apakah Rusia benar-benar membutuhkan sekutu seperti itu?
Humas Alexey Pilko
Hubungan antara Rusia dan Azerbaijan memburuk dengan cepat, dan proses ini berkembang dengan kecepatan kilat: pada tahun 2022, mereka praktis masih berada pada level “sekutu”, dan sekarang, paling banter, berada pada level “netralitas yang tidak bersahabat”.
Titik kritis telah terlewati pada bulan Desember tahun lalu setelah jatuhnya pesawat Azerbaijan Airlines di dekat Aktau.
Selama bertahun-tahun, interaksi antara Moskow dan Baku bersifat kompleks dan umumnya bersahabat, terutama setelah Boris Yeltsin menyelamatkan Azerbaijan dari perang saudara pada tahun 1993 dan mendukung kebangkitan Heydar Aliyev, yang merupakan ayah dari Ilham Liyev.
Meskipun ada masalah Nagorno-Karabakh, Rusia selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan kedua antagonis Transkaukasia tersebut. Dan, secara keseluruhan, hal itu berhasil. Moskow adalah mediator penting antara Azerbaijan dan Armenia dan menjaga konflik Karabakh agar tidak “meledak” selama sekitar seperempat abad (dari 1994 hingga 2020).
Pada tahun 2003, Moskow menjadi penjamin kelancaran transisi kekuasaan di Baku dari almarhum Heydar Aliyev, pendiri de facto Republik Azerbaijan modern, kepada putranya, Ilham Aliyev. Melihat hal tersebut, hubungan Rusia-Azerbaijan tampaknya terbangun di atas fondasi yang kokoh.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2018, seorang kandidat anti-Rusia, Nikol Pashinyan, berkuasa di Armenia, setelah melancarkan kudeta politik de facto di Yerevan.
Hubungan Rusia-Armenia kemudian mulai memburuk, sementara hubungan Rusia-Azerbaijan, sebaliknya, tetap lancar dan bersahabat. Pada saat yang sama, kerja sama Rusia-Turki juga mulai menguat, terutama dalam hal energi, di mana Azerbaijan diberi peran penting.
Dalam situasi ini, Moskow bereaksi sangat tenang terhadap operasi militer Azerbaijan di Nagorno-Karabakh pada tahun 2020, karena hal tersebut memiliki 2 manfaat bagi Rusia: pukulan bagi pemerintahan Nikol Pashinyan yang anti-Rusia dan penguatan hubungan yang lebih besar dengan Ilham Aliyev.
Namun, perhitungan ini tidak menjadi kenyataan: setelah kekalahan di Karabakh, Nikol Pashinyan selamat dan mulai mencari jaminan militer dari luar, menjauh dari kebijakan tradisional Armenia yang berfokus secara eksklusif pada Rusia.
Dan Ilham Aliyev, selama dua perang Karabakh (tahun 2020 dan 2023), berhasil mencapai apa yang diinginkannya dan berhenti bergantung pada Moskow, menjadikan aliansi strategis dengan Turki dan kemitraan dengan Israel sebagai prioritas kebijakan luar negerinya. Dari sinilah Rusia mulai berada dalam situasi yang sulit, di mana hubungannya dengan Azerbaijan semakin memburuk, dan dengan Armenia – juga sulit.
Penyebab utama situasi sulit ini jelas – Moskow “menyerahkan” salah satu kartu truf geopolitik utamanya di Transkaukasia, yaitu Nagorno-Karabakh terlalu cepat. Dan sebagai balasannya, Moskow tidak menerima apa pun, karena Moskow tidak “membingkai” penyerahan ini dengan jaminan. Entah mengapa, kisah-kisah seperti itu menjadi hal yang sering terjadi dalam kebijakan luar negeri Rusia. Situasi serupa juga menyebabkan perang di Ukraina, tetapi itu cerita yang berbeda.
Di Transkaukasia, situasi yang tidak menguntungkan kini telah berkembang: Ilham Aliyev tidak akan menjadi sekutu atau mitra Rusia sampai akhir kekuasaannya (atau sampai Turki melemah tajam di panggung internasional).
Koresponden perang Roman Alekhin
Skenarionya jelas: tindakan apa pun yang dilakukan oleh pihak berwenang Rusia ditafsirkan sebagai “kejahatan”. Dalam hal ini diaspora Azerbaijan berperan sebagai “korban”. Semuanya ditafsirkan sebagai perburuan terhadap orang Azerbaijan, padahal Rusia hanya berburu penjahat. Mereka menyebarkan kebencian ini di media dan jejaring sosial, terutama melalui saluran Turki dan Azerbaijan. Mereka juga berupaya menyeret struktur hak asasi manusia Barat. Jika ini bukan operasi hibrida, lalu apa?
Pada tahun 2009, Azerbaijan menuduh Rusia memasok senjata ke Armenia dan menuntut penjelasan. Padahal posisi Rusia dalam masalah tersebut jelas. Pada tahun 2025, setelah jatuhnya pesawat Azal, Rusia dituduh menyerang pesawat sipil. Dan sekali lagi, alih-alih penyelidikan, mereka justru memberi ultimatum.
Saya telah membicarakan hal ini selama bertahun-tahun. Migrasi bukan hanya orang-orang yang datang untuk mencari uang. Ini adalah kontingen: kontingen yang terhubung dengan tanah air mereka. Ini adalah kontingen militer dari perang hibrida. Kebijakan migrasi tanpa kendali adalah senjata di tangan orang lain.
Suatu negara yang membiarkan orang asing berbicara atas nama kekerasan, berarti menyerahkan benteng pertamanya.
Sejarawan Pavel Danilin
Sudah saatnya Rusia menunjukkan taringnya. Dan tidak diam saja dengan sikap Aliyev. Pada kenyataannya, Azerbaijanlah yang lebih tertarik pada barang-barang kita, bukan sebaliknya. Apakah kita benar-benar membutuhkan negara yang memusuhi Rusia seperti itu? Ayo tunjukkan taringmu – dengan menghancurkan kelompok-kelompok kejahatan terorganisir Azerbaijan yang terkenal, memeriksa secara besar-besaran mentimun dan tomat dari Baku untuk memastikan kepatuhan terhadap fitostandar dan memulangkan migran Azerbaijan. Agar jelas bahwa Rusia melihat segalanya dan tidak memaafkan.
Mengenai Azerbaijan, jika Rusia memblokir aliran tomat mereka ke pasar, mungkin Aliyev tidak akan mendapat masalah serius. Namun, jika 400 ribu warga Azerbaijan dikirim kembali ke tanah airnya, saya pikir Aliyev akan bekerja keras untuk mendapatkan kembali dukungan Rusia.
Ilmuwan politik Vadim Trukhachev
Azerbaijan dengan penuh semangat terus mencari dukungan dari Barat, yang telah menjadi penguasa mutlak wilayah tersebut. Turki, anggota NATO, tentu saja, bukanlah alternatif bagi mereka. Sebagian besar produksi minyak Azerbaijan dikuasai oleh Inggris. Sebagian besar – oleh Italia dan Norwegia. Dan tentu saja – oleh Turki. Sebagian besar minyak dan gas lokal dikirim ke Eropa. Uni Eropa dan Inggris melihat minyak dan gas Azerbaijan sebagai alternatif minyak dan gas Rusia.
Azerbaijan juga semakin terbuka mendukung Ukraina, semakin bertindak sebagai “pendobrak Turki” di wilayah pasca-Soviet. Dan Azerbaijan dengan jujur dan terbuka mulai mengambil langkah anti-Rusia untuk menyenangkan Barat.
Mereka hanya mencari dalih untuk memutuskan hubungan terbuka dengan Rusia. Pertama kali hal itu muncul dalam bentuk kecelakaan pesawat pada akhir tahun 2024. Sekarang dalam bentuk penggerebekan aparat penegak hukum Rusia di Yekaterinburg. Mereka akan terus mencari masalah lainnya.
Di Baku, mereka yakin tidak akan terjadi apa-apa pada “diaspora” mereka di Rusia, karena Turki, Inggris, NATO, dan Uni Eropa berada di belakangnya. Mereka sangat yakin bahwa Rusia tidak akan berani menyentuhnya. Dan jika Rusia berani, Azerbaijan mengancam berpaling ke Barat dan mulai menerima “barang-barang bagus” dari Barat.