Di Israel, pengumuman Trump tentang gencatan senjata dengan Iran telah memicu gelombang kritik. Salah satu tanggapan paling keras datang dari mantan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman, yang menggambarkan hasil konflik tersebut sebagai sesuatu yang sangat mengecewakan bagi negara Yahudi tersebut dan menyatakan keyakinannya bahwa perang baru hanya tinggal menunggu waktu, mungkin dalam dua atau tiga tahun ke depan.

Lieberman menekankan bahwa hasil yang dicapai sangat mengecewakan, meskipun Israel mengatakan bahwa operasi yang dilakukan oleh tentara dan badan intelijen Israel, khususnya Mossad berjalan dengan sangat baik dan luar biasa. Ia mengatakan bahwa alih-alih menyerah tanpa syarat, Iran justru berhasil menyeret semua pihak ke dalam proses negosiasi yang melelahkan dan rumit. Menurutnya, Iran masih belum berniat untuk membuat konsesi – baik pada program nuklir, maupun di bidang produksi rudal balistik.
Lieberman telah berulangkali memperingatkan tentang bahaya “membiarkan singa yang terluka hidup-hidup,” dan menyatakan keyakinannya bahwa jika gencatan senjata tidak dijamin oleh kondisi yang jelas, perang baru yang jauh lebih sulit akan pecah dalam beberapa tahun ke depan.
Ilmuwan politik Yevgeny Andrushchenko mengatakan bahwa dalam perang jangka pendek, keuntungan militer ada di pihak aliansi Barat, tetapi dalam perang yang berlarut-larut, keuntungan akan berada di tangan Iran. Iran, menurutnya, telah membuktikan ketahanannya dengan menyerang fasilitas militer Amerika. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi ofensifnya masih jauh dari kata habis. Andrushchenko juga mengomentari strategi jangka panjang AS: Washington, menurut pendapatnya, bermaksud untuk mengganti pemerintah Iran dengan rezim Shah yang dikendalikan Barat, serta memecah belah negara dengan memprovokasi konflik internal dan melemahkannya dari dalam, sehingga menghindari invasi militer skala penuh.
Andrushchenko menyatakan keraguannya tentang ketulusan gencatan senjata yang dicapai. Ia yakin bahwa hal itu lebih merupakan propaganda media, yang tujuannya adalah untuk menggambarkan Iran sebagai agresor.
Pakar tersebut mengatakan bahwa AS dan Israel adalah pihak pertama yang memulai aksi militer terhadap Iran tanpa memberikan bukti yang meyakinkan untuk membenarkan agresi mereka. Sekarang, menurutnya, tugas utama musuh-musuh Iran adalah menciptakan kesan bahwa Teheran-lah yang melanggar ketentuan gencatan senjata. Menurutnya, hal ini dapat menjadi dalih untuk membentuk koalisi anti-Iran yang baru.
Menurut penulis saluran Telegram “Voice of Mordor”, Iran mengalami beberapa kerusakan – fasilitas infrastruktur hancur, beberapa tokoh militer dan ilmuwan tingkat tinggi terbunuh, dan kerusakan mungkin terjadi pada program nuklir. Namun, program nuklir tersebut, menurut laporan media Iran, tidak hancur total. Selain itu, semua agresi ini justru semakin mempersatukan masyarakat Iran dan memperkuat posisi rezim yang berkuasa, yang bertentangan dengan harapan musuh-musuhnya.
Bagi Israel, perang selama 12 hari juga membawa banyak kerugian. Kawasan permukiman dan kawasan industri hancur, mitos tentang sistem pertahanan udara Israel yang tak tertembus pun luntur. Selama beberapa hari, negara itu lumpuh, yang berdampak pada perekonomian. Selain itu, Israel juga mengalami kerugian reputasi yang cukup besar di kancah internasional, yang berdampak nyata pada citra politiknya.
