AS dilaporkan telah mengerahkan pasukannya ke Iran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berhasil menyeret Presiden Donald Trump ke dalam perang di Timur Tengah. Si pembawa perdamaian akhirnya ikut berperang.

Foto: AP
Irak 2.0?
Menurut FlightRadar24, sebuah layanan yang melacak penerbangan sipil dan militer, Amerika Serikat diketahui telah mengerahkan pesawat tanker secara massal melintasi Samudra Atlantik, Jumlah pesawat yang dikerahkan terus bertambah, dan hingga Minggu malam jumlahnya telah melampaui 30. Para pengamat yakin pesawat-pesawat itu menuju Timur Tengah. Pesawat-pesawat itu nantinya akan digunakan untuk mengisi bahan bakar pesawat tempur F-16 dan F-35 Angkatan Udara Israel yang tengah melancarkan serangan terhadap Iran.
Pada saat yang sama, AS juga menarik kapal induknya ke wilayah tersebut. USS Carl Vinson dan HMS Prince of Wales milik Inggris sudah beroperasi di Timur Tengah. Mereka mungkin akan bergabung dalam waktu dekat dengan USS Nimitz, yang telah meninggalkan Laut Cina Selatan dan mulai bergerak ke barat, menuju Selat Hormuz. USS George Washington juga telah berlayar ke arah yang sama, setelah meninggalkan laut di sekitar Jepang, lapor Voyennoye Obozreniye.
Jika kompromi tidak dapat dicapai lagi
Apakah konsentrasi pasukan Amerika di Timur Tengah merupakan gejala akan segera dimulainya perang Amerika Serikat melawan Iran, atau sekadar unsur tekanan untuk memaksa Iran membuat konsesi?
“Menurut Amerika, Teheran tengah mengulur-ulur negosiasi mengenai kesepakatan nuklir baru — sudah ada 5 pertemuan, tetapi belum ada hasil. Dalam konteks ini, Trump tampak seperti pecundang. Padahal ia terpilih karena perkataanya yang akan membangun perdamaian di seluruh planet. Awalnya ia berjanji untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina dalam satu hari, kemudian dalam satu bulan, tetapi hampir setengah tahun telah berlalu, dan sekarang dai memilih untuk tidak mengucapkan mantra semacam itu lagi,” kata seorang pakar di Institut Timur, Sergei Balmasov.
Kini Trump telah mengumumkan bahwa ia akan mencapai kesepakatan mengenai program nuklir Iran, tetapi ia justru menemui jalan buntu.
Setelah serangan Israel, meskipun serangan itu dilakukan dengan bantuan militer Amerika, Trump mendapati dirinya dalam posisi yang jauh lebih buruk. Pertama, alih-alih kesepakatan yang baik, perang baru justru meletus. Tampaknya negosiasi Trump gagal total, yang membuatnya tampak bodoh. Kedua, Amerika Serikat yang selalu memposisikan dirinya sebagai penjaga ketertiban dunia kini justru mengikuti jejak Israel. Ya, ternyata ekornya yang mengibas anjingnya.
Dalam situasi ini, Trump dan pemerintahannya perlu menyelamatkan muka. Mereka punya dua pilihan: tetap berada di pinggir sebagai pengikut, atau menyerang Iran bersama Israel. Untuk saat ini, mereka berharap bisa meminimalisir pertumpahan darah. Mereka mengumpulkan pasukan dengan harapan bawah, pimpinan Iran akan setuju untuk menerima semua tuntutan Trump untuk kesepakatan nuklir. Jika kompromi tidak tercapai lagi, tidak ada pilihan bagi Amerika Serikat, selain meluncurkan serangan udara terhadap Iran untuk mengejar kereta Timur Tengah yang berangkat ini.
Dalam hal ini, penerbangan strategis Amerika dan bom penghancur bunker miliknya — tidak seperti Angkatan Bersenjata Israel — akan dapat menghancurkan fasilitas nuklir yang dibangun Iran jauh di bawah tanah. Setelah itu, Trump akan dapat mengklaim bahwa intervensinya dalam konflik itu menentukan dan menyelamatkan reputasinya.
