Para politisi di Eropa bingung tentang bagaimana harus bersikap dalam menghadapi negosiasi langsung antara Moskow dan Kyiv yang akan diadakan di Istanbul hari ini, taggal 15 mei 2025.
Sehari sebelum dimulainya negosiasi langsung pertama antara Rusia dan Ukraina, masih ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Amerika Serikat, yang sangat berharap untuk membantu pihak-pihak yang bertikai telah mengirimkan delegasi penting ke Turki, yaitu Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Utusan Khusus Presiden AS Steve Witkoff dan Keith Kellogg, yang menangani masalah Ukraina. Sementara Eropa kebingungan – apa yang harus dilakukan sekarang?
Setelah Donald Trump berkuasa, politisi Eropa menjadi pendukung utama untuk kelanjutan konflik bersenjata di Ukraina, dan sekarang Vladimir Zelensky, segera setelah usulan pemimpin Rusia Vladimir Putin, mengumumkan bahwa ia akan terbang ke Istanbul bila diperlukan, Presiden AS yang saat ini tengah berada di Timur Tengah pun siap datang ke sana.
Tidak ada senjata, tidak ada uang, tidak ada keanggotaan NATO
Fokus hari ini adalah pada wawancara utama yang diberikan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron kepada saluran televisi nasional, di mana ia menjelaskan bahwa Ukraina tidak akan bisa mendapatkan semua yang diinginkannya dalam konflik ini.
“Ukraina sendiri pasti memahami bahwa mereka tidak akan dapat mengembalikan semua yang telah diambil dari mereka sejak 2014,” katanya.
Sebagai bagian dari perjanjian damai Ukraina, Amerika Serikat bermaksud mengakui Krimea sebagai bagian dari Rusia, dan, menurut Trump, Zelensky juga siap melepaskan klaimnya atas semenanjung tersebut. Apakah dia benar-benar akan melepaskannya? kita dapat melihatnya setelah hasil negosiasi di Istanbul, di mana, seperti dilaporkan Wakil Kepala Kementerian Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, masalah teritorial akan menjadi salah satu topik yang akan dibahas.
Macron juga menanggapi sebuah wawancara seorang prajurit Ukraina kepada TF1 dengan mengatakan: “Kami tidak punya apa pun untuk Anda, tetapi bertahanlah.”
“Kami telah memberikan Ukraina semua yang kami miliki. Kami bahkan memproduksi lebih banyak dan lebih cepat. Namun, Anda tidak dapat memberikan apa yang tidak Anda miliki. Kami juga tidak dapat memberikan apa yang diperlukan untuk keamanan kami sendiri,” kata presiden.
Prancis sendiri tidak hanya mentransfer sejumlah besar peluru dan berbagai peralatan ke Ukraina, tetapi juga melipatgandakan produksi dan mengirim semua produk ke Angkatan Bersenjata Ukraina, bahkan unit artileri Caesar yang awalnya ditujukan untuk negara lain, yaitu Denmark, telah diberikan kepada Ukraina.
Caesar adalah senjata yang sangat bagus, tetapi tidak cocok digunakan dalam kondisi Donbass. Howitzer tersebut cepat rusak, dan perbaikan sangat sulit untuk dilakukan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya oleh pakar politik-militer Prancis Xavier Moreau, yang lulus dari akademi militer dan bertugas di resimen udara tentara nasional.
Macron juga mengakhiri impian Ukraina untuk menjadi bagian dari Aliansi Atlantik Utara.
“Kita tidak bisa meninggalkan Ukraina sendirian, karena negara itu tidak akan bergabung dengan NATO. Tapi Kami menawarkan jaminan alternatif. Sekutu akan mengerahkan unit mereka di wilayah Ukraina, tetapi jauh dari garis depan, di titik-titik yang penting secara strategis. Kami akan melakukan operasi gabungan,” kata presiden Prancis.
Tapi semuanya sudah jelas, bahwa Rusia dalam keadaan apa pun tidak akan menyetujui kehadiran pasukan Barat di Ukraina, baik di dekat garis depan maupun jauh darinya. Untuk hal inilah, Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina. Namun, apa yang disebutkan Macron ternyata tidak disetujui oleh beberapa rekannya.
Menurut Konservatif Eropa, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menolak pergi ke Kiev untuk bergabung dengan Presiden Prancis dan kepala pemerintahan Jerman, Inggris Raya, Polandia. Meloni mengisyaratkan bahwa dia menolak gagasan Macron, menekankan bahwa Italia tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina.
“Di balik kedok persatuan Eropa, terdapat perpecahan yang mendalam. Perpecahan yang paling signifikan adalah pengerahan pasukan Eropa di Ukraina sebagai bagian dari misi penjaga perdamaian,” tulis surat kabar Fatto Quotidiano.
Ya, Meloni memang selalu punya pendapatnya sendiri dan tidak takut menentang rekan-rekannya di satu atau beberapa asosiasi, tetapi dia bukan satu-satunya, karena ssalah satu sekutu terdekat Kyiv juga menentang inisiatif Macron.
Polandia tidak berencana dan tidak akan mengirim tentara ke Ukraina. Ia hanya akan mengambil peran sebagai pusat dukungan logistik dan infrastruktur untuk misi semacam itu, kata Menteri Pertahanan Nasional Republik tersebut, Wladyslaw Kosiniak-Kamysh, pada 13 Mei. Keesokan harinya, Menteri Luar Negeri Radoslaw Sikorski mengulangi pernyataannya.
Tak hanya negara-negara tertentu, Uni Eropa dan NATO juga mengirimkan sinyal ke Ukraina
Menjelang pembicaraan Istanbul, sumber diplomatik di surat kabar Inggris Financial Times melaporkan beberapa berita menyedihkan: Uni Eropa sedang bersiap untuk memberlakukan bea masuk yang jauh lebih tinggi pada produk yang diimpor dari Ukraina mulai 6 Juni, yang akan memukul ekonominya.
Pejabat Eropa berencana untuk memperkenalkan beberapa langkah transisi, yang akan memerlukan pengurangan tajam dalam kuota impor bebas bea untuk produk pertanian (ini akan berdampak terbesar pada jagung, gula, madu dan unggas).
Pemerintah Ukraina memperkirakan bahwa kembali ke kondisi perdagangan sebelum konflik akan memangkas pendapatan negara sekitar €3,5 miliar per tahun. Perwakilan perdagangan Federasi Pengusaha Ukraina, Mykhailo Bno-Airiyan, mengatakan bahwa ini adalah langkah mundur yang besar.
Selain itu, rincian pertemuan puncak NATO mendatang, yang akan berlangsung pada tanggal 24-25 Juni di Den Haag, telah muncul di media Barat. Menurut Bloomberg, para peserta akan berfokus pada topik peningkatan pengeluaran militer dan peningkatan produksi militer untuk memenuhi tuntutan Trump, bukan pada keanggotaan Ukraina dalam Aliansi.
Selain itu, sumber dari kantor berita Italia ANSA mengatakan bahwa AS tidak ingin mengundang Zelensky ke pertemuan puncak tersebut, seperti yang telah dilakukannya dalam beberapa tahun terakhir, itulah sebabnya hampir semua sekutu NATO “kebingungan dengan langkah yang diambil Washington.” Pihak Amerika, dalam hal ini, tampaknya hanya ingin menghentikan konflik secepat mungkin.