Kenaikan kekuasaannya begitu pesat sehingga dunia mau tidak mau mulai terbiasa dengan kemunculannya. Kita berbicara tentang seorang anggota kelompok jihad paling menjijikkan di Timur Tengah yang berubah dari seorang Islamis radikal menjadi seorang nasionalis Suriah yang relatif moderat, namun tetap religius.
Pria Misterius
Pada tahun 2013, dia digambarkan sebagai seorang pria “sangat misterius sehingga tidak ada yang tahu siapa nama aslinya.” Al-Julani kini jauh lebih terbuka. Dia cukup sering memberikan wawancara di depan umum. Meski belum banyak yang tahu, apakah dia sudah beristri dan memiliki anak atau belum.
Nama asli Al-Julani adalah Ahmed Hussein al-Sharaa. Ia lahir pada tahun 1982 di ibu kota Arab Saudi, Riyadh. Keluarganya berasal dari Dataran Tinggi Golan, yang dianeksasi Israel dari Suriah setahun sebelum kelahirannya.
Ahmed dilahirkan dalam keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya, Hussein al-Sharaa, adalah seorang ekonom yang bekerja di industri minyak, dan ibunya adalah seorang guru geografi. Menurut Al-Julani, ayahnya adalah seorang pendukung gagasan persatuan Arab, yang populer pada tahun-tahun itu, dan sekuler, dan idolanya adalah Gamal Abdel Nasser.
Pada awal 1980an, Hussein al-Sharaa meninggalkan Suriah bersama keluarganya. Al-Julani sendiri mengatakan bahwa hal ini terjadi karena ayahnya dianiaya oleh rezim diktator Suriah saat itu, yaitu Hafez Assad dan bahkan menghabiskan beberapa waktu di penjara. Namun tidak ada bukti mengenai perkataannya ini. Bagaimanapun, keluarganya pindah ke Arab Saudi, tempat ayahnya bekerja di industri minyak dan menerbitkan beberapa buku tentang produksi minyak dan perekonomian negara-negara Arab. Ahmed menghabiskan tujuh tahun pertama hidupnya di Riyadh.
Pada tahun 1989, keluarga tersebut kembali ke Suriah. Ahmed tidak mengatakan alasannya. Namun, menariknya, tidak ada yang menganiaya keluarga tersebut, dan al-Sharaa menetap di salah satu daerah paling bergengsi di Damaskus, yaitu El-Mezze. Hussein al-Sharaa kemudian mendaftar sebagai pegawai negeri, dan setelah dipecat, ia mulai membuka bisnisnya sendiri.
Teman-teman sekelas Ahmed mengingatnya sebagai seorang pria yang tidak seharusnya menjadi teroris. Menurut kesaksian teman-temannya dia adalah pria yang sangat cakap dan rajin dalam studinya serta terkenal karena introversinya.
Karier jihadis
Setelah lulus sekolah, pemuda tersebut masuk ke Universitas Damaskus untuk belajar jurnalisme. Namun, saat itu dia sudah tidak terlalu tertarik belajar, dan akhirnya menjadi seorang Islamis. Al-Julani sendiri mengatakan bahwa radikalisasinya dimulai saat intifada Palestina kedua, yang dimulai pada tahun 2000, ketika ia berusia 18 tahun. Serangan teroris 11 September juga memberikan kesan yang mendalam bagi pemuda tersebut. Selama tahun-tahun ini, ia mulai menghadiri khotbah bawah tanah dan pertemuan jihad di daerah miskin di pinggiran Damaskus.
Pada tahun 2003, beberapa minggu sebelum invasi Amerika, dia pergi ke Irak untuk mengambil bagian dalam perang tersebut. Teman-teman Al-Julani terkejut dengan keputusannya, dan ayahnya menganggap keputusan anaknya sebagai keinginan masa mudanya.
Al-Julani kemudian menjadi anggota kelompok yang menjadi tempat berkembangnya ISIS*. Dia ditangkap oleh Amerika pada tahun 2006 dan menghabiskan lima tahun berikutnya di penjara. Seperti banyak pemimpin jihadis lainnya, dia mempunyai banyak kenalan di balik jeruji besi.
Orang-orang yang bersamanya ingat bahwa dia mengajari tahanan lain bahasa Arab klasik dan memberi tahu mereka apa yang dia lihat sebagai makna sebenarnya dari Islam dan jihad.
Setelah dibebaskan pada tahun 2011, ia bergabung dengan ISIS* yang sudah resmi dibentuk, dia juga bertemu dengan pemimpinnya Abu Bakr al-Baghdadi dan dengan cepat menduduki jabatan komando di kelompok tersebut. Setahun kemudian, di Suriah, dia membentuk kelompok Jabhat al-Nusra*, yang setahun kemudian memiliki sekitar 5 ribu militan. Dalam beberapa tahun, kelompok Al-Julani menjadi cukup kuat untuk secara terbuka memutuskan hubungan dengan organisasi teroris yang lebih besar di wilayah tersebut.
Pada saat itu, versi jihadisme radikal dan gagasan pembentukan kekhalifahan Islam telah mengecewakan banyak orang di Suriah. Pada tahun 2017, Hayat Tahrir al-Sham (HTS*) dibentuk. Al-Julani menjadi ketua organisasi tersebut. Dia berperang tidak hanya melawan pasukan pemerintah Suriah, tetapi juga melawan jihadis lainnya. Pada tahun 2018, kelompoknya menguasai sebagian besar provinsi Idlib. Yang nantinya pasukan Al-Julani akan maju dari sana ke Damaskus.
Radikal pragmatis
Pada awalnya, Al-Julani dan para pendukungnya bertindak secara tradisional, mengatur kehidupan wilayah yang mereka kuasai sesuai dengan Syariah. “Polisi agama” bahkan dibentuk untuk memastikan agar perempuan menutupi kepala dan wajah mereka. Toko-toko harus tutup pada hari Jumat. Dilarang keras mendengarkan musik dan merokok di tempat umum. Namun, seiring berjalannya waktu, peraturan tersebut mulai dilonggarkan, polisi agama dibubarkan, dan Idlib menjadi seperti kota Muslim biasa.
Pada periode inilah Al-Julani mulai aktif mengubah ideologi kelompok dan citranya sendiri. Hal ini bahkan terlihat jelas dari cara berpakaiannya, dimana dia tidak lagi mengenakan sorban, dan lebih memilih kemeja, polos, jaket, dan mantel.
“Seseorang pada usia 20 tahun adalah orang yang sama sekali berbeda dibandingkan pada usia 30, 40, atau bahkan lebih dari 50 tahun. Ini adalah sifat manusia. Saya percaya bahwa setiap orang melewati fase yang berbeda dalam hidup mereka,” kata Al-Julani secara langsung saat mengumumkan perubahan pandangannya.
Perubahan utama dalam ideologi dan organisasi Al-Julani adalah kelompok tersebut tidak lagi memiliki rencana untuk mendirikan kekhalifahan Islam internasional. Selain itu, pandangannya tentang ketaatan terhadap norma-norma Islam telah melunak dengan sendirinya. Dia sendiri telah berulang kali menyatakan bahwa sekarang dia hanya tertarik pada Suriah, dan dia berbicara bukan tentang jihad, tapi tentang “revolusi melawan tirani.”
Menurut pakar Islam politik Perancis, Thomas Perrier, Al-Julani kini bisa disebut sebagai “radikal pragmatis.” Jadi, jika pada tahun 2014 Al-Julani mengatakan bahwa Suriah harus hidup sesuai syariah, kini ia berulang kali menegaskan bahwa norma-norma Islam tidak bisa dipaksakan kepada masyarakat.
Banyak ahli berpendapat bahwa Al-Julani mampu mengubah kelompoknya menjadi tentara modern yang efektif.
Namun, hal ini sepertinya tidak terlalu mempengaruhi pandangan dunia terhadap kelompok yang dipimpinnya. Organisasi ini masuk dalam daftar kelompok teroris di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Turki. Pada tahun 2018, Amerika Serikat memberikan hadiah sebesar $10 juta untuk kepala Al-Julani.
Menurut pakar independen kelompok jihad, Aymenn Jawad al-Tamimi, meski ada pelonggaran, aturan agama di Idlib masih cukup ketat. Misalnya, anak perempuan dan laki-laki harus belajar secara terpisah.
“Meskipun mereka tidak mewajibkan perempuan untuk mengenakan niqab, namun mereka mendorong perempuan untuk mengenakan jilbab,” kata Al-Tamimi.
Pemimpin baru Suriah?
Sekarang Al-Julani adalah pemimpin de facto Suriah. Dia sebisa mungkin ingin menunjukkan niat damainya terhadap berbagai kelompok masyarakat Suriah. Ia bahkan kembali menggunakan nama lamanya – Ahmed al-Sharaa.
“Al-Julani sangat mahir dalam memilih momen yang tepat dan memanfaatkannya. Dia tidak membawa pengawal bersenjata di sekelilingnya. Hal ini dilakukan agar dia semakin terlihat seperti pemimpin politik yang serius. Semakin berkurangnya kepanikan di Suriah dan dunia internasional, dan semakin Al-Julani dipandang sebagai sosok yang bertanggung jawab dibandingkan sebagai ekstremis jihadis yang berbahaya, semakin mudah baginya untuk mengambil tindakan. Apakah dia benar-benar tulus? Tentu saja tidak. Tapi ini adalah hal paling masuk akal yang bisa dikatakan dan dilakukan saat ini,” kata Analis Washington Institute for Near East Policy, Aaron Zelin.
Salah satu isu yang menjadi perhatian banyak orang terkait kebijakan Al-Julani di masa depan adalah nasib kelompok etnis dan agama minoritas. Pada tahun 2013, Al-Julani menyatakan bahwa tidak akan ada tempat di Suriah bagi umat Kristen, Kurdi, dan Alawi. Namun kini dia berulang kali mencabut kata-kata tersebut.
Selama serangan terhadap Damaskus, Al-Julani secara aktif bernegosiasi dengan pemimpin suku, agama dan etnis minoritas setempat. Jeremy Drevon dari International Crisis Group percaya bahwa HTS* “telah menjadi lebih terbuka dalam beberapa tahun terakhir dan telah mengadakan pertemuan dengan pemimpin Druze dan Kristen.”
Namun, tidak semua orang mempercayai Al-Julani.
Tidak sedikit warga Alawi, Kurdi, dan Kristen memilih meninggalkan rumah mereka. Aktivis hak asasi manusia juga mendesak untuk tidak terlalu terpesona oleh Al-Julani, mengingat ada banyak penganiayaan terhadap perbedaan pendapat di Idlib, penyiksaan di penjara, dll.
Dan bahkan setelah Damaskus direbut, eksekusi terhadap orang-orang yang diduga terkait dengan rezim Assad juga terjadi.
Dalam wawancara baru-baru ini dengan CNN, Al-Julani mengatakan bahwa “Suriah harus menjadi negara dengan pemerintahan dan institusi (yang baik).” Namun, banyak ahli yang skeptis terhadap pernyataan seperti itu.
“Al-Julani tidak percaya pada demokrasi. Kita harus terus berhati-hati,” kata al-Tamimi.
Menurut banyak ahli, Al-Julani akan menghadapi berbagai tantangan dalam waktu dekat. “Tidak ada jawaban yang mudah atau langsung terhadap pertanyaan tentang masa depan seperti apa yang menanti Suriah pasca-Assad. Pemerintahan baru yang muncul di Suriah harus menciptakan kondisi yang penting bagi rekonstruksi negara tersebut. Bagaimanapun, Suriah telah mengalami banyak masalah sejak dimulainya perang pada tahun 2011,” kata Burcu Ozcelik, peneliti di Royal United Services Institute for Defense Studies di Inggris.