Oposisi bersenjata Suriah berhasil menduduki Damaskus. Tentara Suriah tidak memberikan perlawanan di mana pun mereka ditempatkan. Presiden Suriah Bashar al-Assad telah menghilang dari radar. Oposisi Suriah yang pro-Turki telah memulai serangan baru ke wilayah suku Kurdi di timur negara itu, yang didukung oleh Amerika Serikat. Israel mengirim pasukan ke Suriah selatan. Perang saudara tidak memiliki tanda-tanda akan berakhir. Juga belum jelas apa yang akan terjadi pada pangkalan-pangkalan Rusia.
Masalah utamanya adalah, Negara ini mengalami situasi ekonomi yang sulit karena sanksi. Pada saat yang sama, kelompok bersenjata terkait yang dibentuk selama perang hanya membebankan perekonomian Suriah. Kawasan penting yang kaya akan sumber daya mineral tidak berhasil dikembalikan, jadi tidak ada uang untuk memulihkan perekonomian. Sebagian besar wilayah masih berada di bawah kendali Kurdi, yang mendapat dukungan AS.
Sementara itu, unit tentara pemerintah yang paling siap tempur sebenarnya bukanlah tentara, melainkan semua jenis milisi lokal. Namun, mereka semua hari ini kehilangan motivasi untuk berperang. Oleh karena itu, ketika serangan kelompok oposisi bersenjata dimulai, tidak ada yang membela Assad, seperti yang terjadi pada tahun 2011.
Dalam beberapa tahun terakhir, disaat situasi ekonomi memburuk, tentara Suriah justru sibuk untuk bertahan hidup, kata Nikita Smagin, pakar di Dewan Urusan Internasional Rusia.
“Mereka terlibat dalam pemerasan dan penyuapan. Hal ini tidak hanya memperburuk popularitasnya di kalangan masyarakat, tetapi juga jelas mempunyai efek buruk pada efektivitas tempur,” kata pakar tersebut.
Sebaliknya, Iran, yang sebelumnya memberikan dukungan kuat kepada Assad, kini mulai kesulitan setelah kekalahan Hizbullah di Lebanon. Rusia terus mendukung tentara Suriah dengan serangan udara, namun mereka sendiri tentu tidak cukup untuk menahan serangan tersebut. Dan PMC Wagner, yang dulu melakukan operasi darat di Suriah, juga sudah tidak ada lagi.
Jadi, pada dasarnya, tidak ada yang memperjuangkan Assad.
Apa yang akan terjadi dengan pangkalan Rusia di Suriah?
Rusia memiliki dua pangkalan di Suriah, keduanya terletak di wilayah pesisir. Inilah kawasan yang dihuni oleh kaum Alawi, salah satu aliran Islam yang erat kaitannya dengan Syiah. Klan penguasa Assad adalah milik Alawi. Kaum Alawi mendukung pihak berwenang selama perang saudara.
Ketika serangan jihadis pertama kali dimulai, wilayah Alawit akan tetap berada di pihak Assad. Dan bahkan jika kekuasaan Assad jatuh di Damaskus, ia akan mampu menciptakan sebuah republik pesisir kecil di tanah Alawit, dipisahkan dari wilayah Suriah lainnya oleh pegunungan Ansaria, yang akan memudahkan pertahanannya.
Namun, jika dilihat dari berita terbaru, kekuasaan Assad di wilayah tersebut dengan cepat runtuh. Ini berarti pangkalan militer Rusia kini telah berada dalam lingkungan yang tidak bersahabat. Rusia tentu saja tidak ingin kehilangan pangkalan udara Khmeinim dan pangkalan angkatan laut di Tarsus. Ini adalah pusat logistik penting yang memungkinkan Rusia melakukan operasi di Afrika dan Timur Tengah.
“Saya pikir para militan tidak akan menyerang mereka. Kemungkinan besar, semuanya akan diputuskan dalam negosiasi antara otoritas baru Suriah, Turki, yang mengawasi mereka, dan Rusia,” yakin Nikita Smagin.
Apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah?
Rupanya perang saudara masih akan terus berlanjut, kata Nikita Smagin.
Meski oposisi bersenjata Suriah yang pro-Turki kini merebut wilayah yang dikuasai Assad. Tapi ini bukanlah yang terakhir. Masih ada wilayah Kurdi, serta Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Dan sudah ada berita bahwa bentrokan antara Kurdi dan oposisi bersenjata telah dimulai.
Israel sama sekali tidak ingin para jihadis pro-Turki menguasai Suriah. Dia telah membawa tank ke wilayah perbatasan. Suku Kurdi juga tidak mau hidup di bawah kekuasaan HTS. Apalagi HTS merupakan sekutu Turki yang ingin menghancurkan Kurdi. Di sini konflik bisa dimulai tidak hanya antara HTS dan Kurdi, tapi juga antara Turki dan Amerika Serikat, yang berada dibalik kekuatan-kekuatan ini.
Siapa yang menang?
Pihak yang jelas-jelas menang saat ini adalah Turki, yang pasukan proksinya telah mengambil alih kekuasaan di Damaskus.
“Turki berencana memulihkan industri di Aleppo, dan mereka juga berjanji untuk melobi pencabutan sanksi dan pengembalian investasi ke negara tersebut,” katanya.
Kini ada dua pertanyaan untuk Turki. Pertama: apakah mereka akan berperang melawan Kurdi dan apakah Amerika mampu menghalanginya? Kedua: apa yang akan terjadi pada pangkalan Rusia di pesisir Suriah dengan pangkalan Tartus dan Khmeimim. Tentu saja jawabannya akan diperoleh setelah masalah ini dibicarakan oleh Rusia dan Turki.
Dan yang paling dirugikan adalah Iran. Posisinya di Suriah runtuh begitu saja.
“Pada tahun 2024, ternyata kita semua terlalu melebih-lebihkan kemampuan militer-politik Teheran. Selama ini, kita menganggap bahwa Iran adalah negara maju, mereka memiliki pasukan proksi di titik-titik panas, jaringan intelijen, kontak bisnis, senjata modern dan bahkan senjata nuklir. Namun, hanya dalam satu tahun tekanan militer, seluruh pengaruh Iran mulai runtuh,” kata Dimitriev.