Pada tanggal 26 November, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa kabinet keamanannya telah menyetujui gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah.
Foto: Israel Prime Minister’s Office / X
Ketua kabinet tidak merinci syarat-syarat gencatan senjata atau tanggal mulai berlakunya gencatan senjata. Menurutnya, durasi gencatan senjata akan bergantung pada situasi di Lebanon.
“Kami akan menegakkan perjanjian dan menanggapi dengan tegas setiap pelanggaran. Kami akan terus beraksi bersama hingga meraih kemenangan,” ujarnya.
Netanyahu menekankan bahwa Hizbullah “tidak sama” seperti sebelum perang. Dia juga berjanji akan fokus menghadapi Iran dan melanjutkan perang dengan Hamas.
Tentu saja, keputusan ini tidak mudah bagi pimpinan kabinet Israel yang mendapat tekanan dari luar. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden-lah yang akhirnya berhasil meyakinkan Netanyahu untuk menyetujui gencatan senjata.
Meskipun hal ini jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan di Gaza. Di Israel, banyak orang mulai sadar, bahwa perang di Lebanon telah menemui jalan buntu, dan kemungkinan besar tidak akan ada keberhasilan baru yang diharapkan, jadi sekaranglah kesempatan untuk mengakhiri perang tersebut.
Tidak sedikit warga Israel mengatakan bahwa gencatan senjata ini bukanlah sebuah kesuksesan, tetapi sebuah kekalahan.
Namun Israel tampaknya terpaksa hadir di meja perundingan setelah mendapat ancaman dari AS yang akan melepaskan hak vetonya atas resolusi Dewan Keamanan PBB jika Israel mengabaikan peringatan tersebut.
Penguatan posisi AS dipicu oleh kekhawatiran akan eskalasi regional, yang mengancam akan menyeret Iran, sekutu utama Hizbullah, ke dalam konflik. Oleh karena itu, Gedung Putih baru-baru ini melakukan upaya untuk membujuk pemerintah Netanyahu agar menerima ketentuan perjanjian tersebut. Prancis juga sedang berupaya mengintensifkan kontak dengan kekuatan politik Lebanon.
“Perjanjian hari ini akan mengakhiri pertempuran di Lebanon dan mengamankan Israel dari ancaman Hizbullah dan organisasi teroris lainnya yang beroperasi dari Lebanon. Perjanjian ini akan menciptakan kondisi untuk memulihkan ketenangan abadi dan memungkinkan penduduk kedua negara untuk kembali dengan selamat ke rumah mereka di kedua sisi Jalur Biru,” demikian pernyataan bersama AS-Prancis mengenai kesepakatan tersebut.
Paris dan Washington juga mengatakan mereka akan bekerja sama dengan Israel dan Lebanon untuk memastikan implementasi penuh dan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut, dan akan “mendukung upaya internasional untuk membangun kapasitas Angkatan Bersenjata Lebanon” dan “pembangunan ekonomi di seluruh Lebanon untuk mendorong stabilitas dan kemakmuran”.
Sebaliknya, Iran juga menegaskan bahwa mereka siap untuk melakukan gencatan senjata dan akan mendorong Hizbullah untuk melakukan hal tersebut. Teheran kemungkinan besar juga akan menunda atau bahkan menghentikan serangan balasannya terhadap Israel.
Hizbullah dan mitra-mitranya di Lebanon, serta para pesaingnya, mendukung gencatan senjata. Meskipun, keputusan ini juga tidak kalah sulitnya bagi Hizbullah.
“Setelah meninjau perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah musuh (Israel – catatan editor), kami akan melihat apakah ada kesesuaian antara apa yang kami nyatakan dan apa yang disepakati oleh para pejabat Lebanon,” kata gerakan tersebut.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) kini diperkirakan akan menarik seluruh pasukannya dari Lebanon selatan. Hizbullah juga harus menarik unit dan senjata beratnya di utara Sungai Litani, sekitar 25 kilometer dari perbatasan.
Selama masa transisi 60 hari, tentara Lebanon akan dikerahkan di wilayah perbatasan bersama dengan pasukan penjaga perdamaian PBB.
Apakah ini bisa disebut kemenangan?
Tentu saja, hasil seperti ini bisa dikatakan sukses bagi Israel. Namun jelas bagi banyak orang bahwa ini bukanlah sebuah kemenangan, melainkan hanya jeda sementara, yang dimanfaatkan oleh Hizbullah dan IDF. Lagipula Pasukan Pertahanan Israel juga sudah sangat kelelahan, dan hal ini disebut sebagai salah satu alasan yang mendorong Netanyahu untuk melakukan gencatan senjata.
“Israel akan menyambut baik kesempatan untuk mengistirahatkan pasukan darat dan cadangannya yang lelah, serta memperbaiki peralatan, mengisi kembali amunisi dan peralatan. Dia juga senang bahwa AS, sekutu utamanya, akan terlibat langsung dalam mediasi jika terjadi pelanggaran [perjanjian],” tulis The Guardian.
Di Gaza, tidak sama seperti di Lebanon, terdapat keraguan serius bahwa Israel benar-benar tertarik untuk mencapai perdamaian di Palestina. Karena faktanya, negara tersebut sekarang secara terbuka sedang mendiskusikan proyek Zionis baru untuk menciptakan pemukiman Yahudi dan pendudukan permanen di daerah kantong tersebut.
Para pejabat senior pertahanan baru-baru ini mengatakan kepada Haaretz bahwa pemerintah bermaksud untuk mencaplok sebagian besar Gaza daripada menegosiasikan untuk mengakhiri perang.
Meskipun terlihat sukses dalam “melepaskan diri” dari front Gaza dan Lebanon, hal ini memicu kemarahan dari sayap koalisi Netanyahu yang lebih radikal.
Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben Gvir pada hari Senin menyebut kesepakatan itu sebagai “kesalahan bersejarah” yang gagal mencapai tujuan utama perang untuk mengembalikan pengungsi Israel ke rumah mereka di utara.
Ben Gvir merupakan salah satu sosok penting yang mematahkan semua upaya untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Namun kali ini usahanya tidak membuahkan hasil.
Para wali kota di wilayah paling utara Israel juga marah dengan laporan bahwa pemerintahan Netanyahu berniat menyetujui perjanjian tersebut. Dan salah satu dari mereka menyebutnya sebagai “perjanjian penyerahan diri”.
Pemimpin Partai Persatuan Nasional, Benny Gantz, juga menentang kesepakatan tersebut, dengan mengatakan bahwa “penarikan pasukan yang terjadi menciptakan kesulitan bagi kami dan situasi ini justru akan dimanfaatkan Hizbullah untuk bangkit kembali.”
Banyak politisi Israel khawatir, Hizbullah akan menggunakan waktu yang diberikan untuk gencatan senjata untuk berkumpul kembali dan memulihkan diri. “Hizbullah” juga tidak akan mau secara sukarela melucuti senjatanya, seperti yang tertuang dalam resolusi 1701, sehingga partai ini akan terus menjadi ancaman nyata bagi Israel.
Pasukan Israel dilaporkan telah mencapai sungai yang paling dekat dengan Garis Biru di Dataran Tinggi Golan. Jarak perbatasan ke sungai di ruas ini hanya 3 km.
Artinya, dari segi militer, keberhasilan Israel dalam perang saat ini sama sekali tidak terlihat meyakinkan, dibandingkan dengan bentrokan skala besar di masa lalu, meskipun terjadi pembunuhan terhadap pimpinan tertinggi Hizbullah.
Dalam perang Lebanon pertama tahun 1982, Israel berhasil mencapai Beirut. Menuju Sungai Litani yang jaraknya 25 km dari perbatasan.
Hizbullah dan Iran belum siap mengakui kekalahan
Hizbullah memang berhasil menahan upaya IDF untuk maju ke Lebanon, tetapi mereka tidak dapat menahan pemboman biadab terhadap kota-kota Lebanon oleh Angkatan Udara Israel, yang menewaskan warga sipil setiap hari, meningkatkan tekanan terhadap Hizbullah dari penduduk dan kekuatan politik di Lebanon.
Di Lebanon, dilaporkan sekitar 100.000 bangunan tempat tinggal hancur, 37 kota dan desa menjadi reruntuhan, lebih dari 3 ribu warga sipil terbunuh, 1,2 juta warga Lebanon menjadi pengungsi.
Baik lawan politik Hizbullah maupun mitranya tentu tidak ingin Lebanon menjadi seperti Gaza, di mana perempuan dan anak-anak menderita, dan setiap hari ratusan warga terkubur di bawah reruntuhan rumah mereka.
IDF benar-benar menyandera seluruh penduduk Lebanon. Mereka hanya perlu mengatakan bahwa seorang pejabat Hizbullah bersembunyi di sebuah gedung bertingkat, itu sudah cukup untuk menghancurkan tidak hanya rumah warga sipil beserta seluruh penghuninya, tetapi juga seluruh blok dengan seluruh penduduknya.
Hizbullah sekarang menghadapi pilihan yang sulit, karena kepatuhan penuh terhadap tuntutan-tuntutan ini dapat menghambat masa depannya. Namun, hasil positif yang penting baginya dari fase konflik saat ini adalah bahwa ia mampu melawan musuh yang jauh lebih kuat dengan senjata paling modern.
Selain itu, gerakan ini telah menunjukkan ketahanan yang lumayan. Kehilangan hampir seluruh pemimpinnya tidak membuat Hizbullah kehilangan kemampuan tempurnya. Hizbullah sepenuhnya mempertahankan potensi misilnya dan terus menyerang Israel, termasuk Tel Aviv, hingga akhir.
Masalah utama Hizbullah dan Iran dalam kondisi saat ini adalah bantuan kepada Hamas dan kebutuhan untuk memulihkan otoritas Hizbullah di Lebanon. Hizbullah menyeret Lebanon ke dalam perangnya dengan slogan mendukung Gaza, membawa kematian dan kehancuran ke negara itu, tetapi tidak berhasil mencapai tujuannya: gencatan senjata hanya dicapai di Lebanon, sementara Hamas dan Palestina masih diserang.
Oleh karena itu, banyak yang memprediksi bahwa gencatan senjata saat ini hanya akan menjadi jeda kecil dalam perang besar. Pemerintahan Trump yang baru, tentu saja ingin hal ini berakhir di sana. Iran juga menginginkan hal yang sama, dan siap melanjutkan dialog dengan Partai Republik.
Namun ada banyak faktor yang bisa mengubur niat tersebut. Dan yang utama adalah Netanyahu dan tekadnya untuk memberikan tekanan terhadap Gaza dengan cara apa pun, terlepas dari kerugian yang dialami warga sipil.