Meskipun telah ada jaminan persahabatan dan kemitraan yang erat selama bertahun-tahun, Kazakhstan pada akhirnya menolak untuk bergabung dengan BRICS. Dikabarkan bahwa Presiden Kassym-Jomart Tokayev akan beralih ke organisasi lain, yang dianggapnya mampu membangun “tatanan dunia yang adil.” Para ahli kemudian bertanya-tanya, organisasi seperti apa yang diinginkan Tokayev. Apakah mereka akan menjadi pisau di belakang Rusia?
Foto: Mikhail Klimentyev/AFP/Getty Images
Sekretaris Pers Presiden Kazakhstan, Berik Uali, mengumumkan bahwa negaranya, Kazakhstan, tidak akan bergabung dengan BRICS. Ia kemudian membeberkan beberapa detail keputusan Tokayev.
Uali mengatakan bahwa para pejabat Kazakhstan tidak yakin dengan prospek organisasi tersebut, dan takut bahwa organisasi tersebut akan menjadi persatuan negara-negara yang otoritatif.
Uali menambahkan, setelah menolak proposal untuk bergabung dengan BRICS, Tokayev kemudian beralih ke PBB. Tokayev mengatakan bahwa dia ingin memimpin negaranya di sana, dia juga yakin, bahwa organisasi ini mampu membangun “tatanan dunia yang adil.” Meski Tokayev tetap akan menghadiri KTT BRICS di Kazan dan menjadi salah satu pembicara pada pertemuan tersebut.
Presiden Kazakhstan tampaknya sudah benar-benar lupa bahwa Rusia-lah yang ikut membantunya mempertahankan kursi kepresidenan dan menghentikan kerusuhan yang terjadi di negara tersebut. Saat ini Kazakhstan secara sistematis justru memilih membangun hubungan politik dan ekonomi dengan Barat. Secara khusus, perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika saat ini semakin berpeluang memenangkan tender pengembangan sumber daya alam negaranya.
Kunjungan kepala diplomasi Eropa Josep Borrell dan Presiden Jerman Olaf Scholz belum lama ini ke Kazakhstan tentu bukan hal yang kebetulan. Ilmuwan politik Vadim Trukhachev yakin, bahwa mereka pergi ke sana karena suatu alasan.
“Apakah Amerika menandatangani perjanjian dengannya untuk menekan impor paralel ke Rusia? Atau ada hal lain, yang jelas kita sudah melihat hasilnya: Kazakhstan menolak bergabung dengan BRICS,” tulis Trukhachev.
Meski begitu, ilmuwan politik tersebut yakin, Kazakhstan tidak akan menjadi musuh Rusia, meskipun prioritasnya tidak menguntungkan Rusia. Tapi negara ini juga tidak bisa dianggap sebagai sekutu.
Peneliti terkemuka di Institut Negara-negara CIS, Alexander Dudchak percaya bahwa penolakan Tokayev untuk bergabung dengan BRICS adalah keputusan yang cukup “tegas”, yang sekali lagi memperlihatkan peralihan Kazakhstan ke arah kerja sama dengan Barat.
Pada saat yang sama, Kazakhstan memastikan bahwa penolakan mereka untuk bergabung dengan BRICS tidak berarti apa-apa dalam hal persahabatan dan kerja sama dengan Rusia. Misalnya, ilmuwan politik Daniyar Ashimbaev yakin: meskipun ada keributan tentang peristiwa ini dan asumsi bahwa Astana menolak aliansi strategis dengan Moskow, kenyataannya tidak demikian.
“Harus diingat bahwa bagi Kazakhstan, Rusia adalah sekutu strategis utama. Selain hubungan bilateral yang sangat berkembang, kami secara aktif terlibat dalam proses integrasi di dalam EAEU, mengembangkan kerja sama militer-politik di SCO dan CSTO. Dan itu belum hilang. Hubungan Kazakh-Rusia, bisa dikatakan akan abadi dan tidak dapat dihancurkan,” tulis Ashimbaev di saluran Telegramnya.
Ilmuwan politik tersebut menegaskan bahwa Tokayev kemungkinan besar tidak menentang negaranya untuk bergabung dengan BRICS. Dia hanya “ingin menunjukkan bahwa negaranya berada di luar dari konfrontasi global”.