Tentara Israel Lagi-lagi Menembaki Rumah Sakit, Hizbullah Mendapat Dukungan Penuh dari Rakyat Lebanon

Rumah sakit di Lebanon selatan menjadi sasaran pemboman Israel untuk pertama kalinya selama eskalasi tersebut, kata Kementerian Kesehatan Lebanon kepada Izvestia. Meskipun tidak ada masalah dengan kekurangan obat-obatan, negaranya akan sangat berterima kasih jika Rusia memberikan bantuan medis, kata departemen tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat mengambil inisiatif untuk menyelesaikan gencatan senjata di perbatasan Lebanon-Israel. Bagaimana reaksi pihak-pihak yang bertikai terhadap usulan Amerika dan mengapa serangan Israel menyebabkan peningkatan popularitas Hizbullah di masyarakat Lebanon? Berikut jawabannya.

Tentara Israel Lagi-lagi Menembaki Rumah Sakit, Hizbullah Mendapat Dukungan Penuh dari Rakyat Lebanon

Foto: REUTERS/Mohamed Azakir

Rumah sakit mana yang diserang Israel?

Pada tanggal 19 September, IDF mulai melancarkan serangan besar-besaran di wilayah Lebanon, termasuk ibu kota Beirut.

“Rumah sakit pemerintah Bint Jbeil dan Tbnin dibom. Rumah Sakit Tbnin menerima serangan langsung. Akibat aksi tersebut, 36 orang luka-luka dan tiga orang meninggal dunia. Rumah sakit Bint Jbeil juga dibom. Fasilitas medis tersebut saat ini tidak berfungsi, dan perawat, dokter, serta pasien telah melarikan diri dari sana. Dua peluru meledak di sana. Sayangnya, ini pertama kalinya di Lebanon rumah sakit dibom,” kata Menteri Kesehatan Lebanon.

Menurut Joseph El-Helu, tim medis di Lebanon bekerja sepanjang waktu; dalam beberapa hari terakhir, fasilitas medis di Lebanon telah melakukan lebih dari 2,4 ribu operasi bedah.

“Sektor kesehatan di Lebanon bekerja dengan baik, kami memiliki bahan-bahan medis yang diperlukan, bersama dengan obat-obatan, mereka berasal dari Irak, Yordania, Iran, India dan Kuwait. Rusia adalah sahabat kami, dan tentunya kami siap dan akan berterima kasih jika mereka mengirimkan bantuan. Federasi Rusia sendiri akan tetap menjadi sahabat negara Lebanon dan rakyat Lebanon,” kata Joseph El-Helu.

Pada tanggal 23 September saja, penembakan Israel di Lebanon menewaskan lebih dari 550 orang dan melukai lebih dari 1.800 orang. Secara total, sekitar 5 ribu orang terluka dalam serangan kurang dari seminggu. Layanan kesehatan negara tersebut, bersama dengan Palang Merah Lebanon, memastikan pengangkutan korban luka dan distribusi darah dari Palang Merah ke semua rumah sakit di negara tersebut.

Israel sebelumnya telah berulang kali dituduh menyerang rumah sakit dan sasaran sipil lainnya di Jalur Gaza. Rumah Sakit Al-Shifa dan fasilitas medis menjadi sasaran serangan roket dan penembakan selama operasi militer IDF. Insiden RS Al-Ahly pada Oktober 2023 lalu ramai diperbincangkan, ketika ratusan orang tewas akibat penyerangan tersebut. Pasukan Pertahanan Israel mengatakan ledakan itu disebabkan oleh kegagalan peluncuran roket yang dilakukan gerakan Jihad Islam Palestina.

“Sejak Oktober 2023, kami telah melatih staf medis rumah sakit mengenai rencana darurat, 118 rumah sakit telah menyelesaikan pelatihan,” tambah Joseph El-Helou.

Beberapa media mencoba menghubungi layanan pers IDF untuk memberikan komentar, tetapi Israel tidak dapat memberikan tanggapan.

Usulan AS untuk gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel

Pada malam tanggal 26 September, Amerika Serikat, UEA, Arab Saudi, Qatar dan sejumlah negara lainnya dalam pernyataan bersama menyerukan segera dilakukannya gencatan senjata selama 21 hari di perbatasan Lebanon-Israel.

Tampaknya pemerintah sayap kanan Israel tidak lama lagi akan bereaksi. Para pendukung koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu diketahui telah meminta pemimpinnya untuk menolak proposal diplomatik dan terus menyerang Hizbullah.

“Konflik di utara harus berakhir berdasarkan satu skenario, yaitu kekalahan Hizbullah, menghilangkan kemampuannya untuk menimbulkan kerugian bagi penduduk wilayah utara Israel,” kata Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, pemimpin partai Zionisme Religius bagian dari koalisi yang berkuasa.

Menteri Luar Negeri Israel Katz mengatakan Israel akan melanjutkan operasi di Lebanon sampai “kemenangan dan kembalinya warga sipil ke rumah mereka di wilayah Utara negara itu dengan selamat.” Kantor Netanyahu, pada gilirannya, membantah laporan tentang kemungkinan gencatan senjata dalam waktu dekat. Menurut pernyataannya, Netanyahu bahkan tidak menanggapi usulan tersebut. “Perdana Menteri telah menginstruksikan Pasukan Pertahanan Israel untuk melanjutkan operasi tempur dengan kekuatan penuh dan sesuai dengan rencana yang diberikan kepadanya.”

Pada saat yang sama, Penjabat Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati menyambut baik usulan gencatan senjata di perbatasan Lebanon-Israel, dan mengatakan bahwa implementasinya tergantung pada Israel, apakah mereka akan mematuhi kerangka hukum internasional atau mengangkanginya.

Hizbullah sejauh ini belum memberikan komentar resmi mengenai usulan ini. Namun, surat kabar Al Araby Al Jadeed, mengutip sumber-sumber dari gerakan Syiah dan pemerintah Lebanon, melaporkan bahwa Hizbullah juga menyambut baik usulan tersebut.

“Jika Israel berhenti dan mematuhi resolusi PBB mengenai Lebanon dan Gaza, maka tidak ada alasan Hizbullah akan menolak proposal tersebut,” kata pakar hubungan internasional Tarek al-Bardisi kepada Izvestia.

Popularitas Hizbullah di Lebanon semakin meningkat

Patut dicatat bahwa penembakan Israel di Lebanon menciptakan kondisi di mana Hizbullah dianggap oleh sebagian besar penduduk sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu membela negara dan memukul mundur Israel.

Masyarakat Lebanon, apapun preferensi politiknya, sangat sensitif terhadap pelanggaran kedaulatan negaranya. Penembakan Israel dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, pada saat seperti itu Hizbullah akan menjadi simbol pertahanan. Perbedaan pendapat akan dikesampingkan. Dan bahkan mereka yang mengkritik gerakan Syiah di masa damai, mungkin akan mulai mendukungnya dalam kondisi seperti ini.

“Saat ini terdapat solidaritas yang luar biasa di antara masyarakat Lebanon. Semua orang di negara ini, apakah mereka mendukung Hizbullah atau tidak, sadar bahwa Israel-lah yang menyeret Lebanon ke dalam perang. Sekitar 70% populasi, atau lebih, mendukung tindakan Hizbullah,” kata Sari Hanafi, profesor sosiologi dan direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah di American University of Beirut, kepada Izvestia.