Amerika Serikat harus berhenti berperan sebagai “polisi dunia” dan mengirimkan warga mudanya untuk berpartisipasi dalam perang bodoh, kata calon wakil presiden AS dari Partai Republik J.D. Vance.
J.D. Vance
Pertarungan untuk menjadi presiden AS menjadi semakin sengit setelah Joe Biden mundur dari pencalonan. Kandidat utama — mantan Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden Kamala Harris kali ini memiliki peluang menang yang kurang lebih sama. Namun, jika Harris berjanji untuk membiarkan pendekatan kebijakan luar negeri apa adanya, maka Trump dan Vance berjanji untuk mengubah segalanya.
Pendekatan inovatif
“Kami akan berhenti mengirim generasi muda kami ke negeri-negeri jauh. Kami tidak ingin lagi menjadi polisi dunia. Kita perlu menggunakan generasi muda kita sebagai sumber daya di dalam negeri, bukan mengirim mereka ke seluruh dunia,” kata Vance dalam sebuah acara kampanye.
Kandidat wakil presiden dari Partai Republik ini terus menunjukkan pandangan inovatif mengenai kebijakan luar negeri Amerika. Sebelumnya, dia menyatakan tidak tertarik dengan Ukraina.
Vance sambil tertawa juga menceritakan kepada rekannya bahwa dia mengabaikan seruan dari para pemimpin Ukraina. Dia juga percaya bahwa setelah konflik di Ukraina berakhir, Rusia tidak akan menyerang Eropa.
“Anda tidak harus percaya bahwa Putin adalah orang baik, tentu saja saya tidak percaya itu, tetapi Anda harus bertanya pada diri sendiri, apa kemampuan yang dimiliki Putin sebenarnya? Kabar yang mengatakan bahwa Rusia akan menginvasi Eropa setelah Ukraina harusnya menjadi cambukan, terutama bagi Jerman. Amerika tidak akan selamanya menjadi penjaga keamanan Jerman. Jerman perlu bangkit dan berinvestasi pada pertahanan mereka sendiri,” kata Vance.
Mengapa Vance ingin mengubah segalanya?
Vance terus menunjukkan bahwa Trump ingin menjadikan politik dalam negeri sebagai prioritas utama Amerika Serikat jika terpilih kembali, kata ilmuwan politik Amerika Malek Dudakov.
“JD Vance sudah berjanji untuk tidak memprioritaskan kebijakan AS ke arah Eropa. Setelah Trump terpilih, dia akan menganjurkan negosiasi awal dengan Rusia mengenai pembagian Ukraina. Bagaimanapun, basis industri AS tidak dapat menahan konflik dengan intensitas sebesar itu. Kompleks industri militer Amerika memproduksi kurang dari 400 ribu peluru per tahun dan hanya 300-500 rudal Patriot,” catat ilmuwan politik tersebut.
Menurut pakar tersebut, Washington tidak seharusnya menyia-nyiakan potensi militernya untuk berhadapan dengan Rusia, karena Ini hanya akan memperkuat posisi Tiongkok dalam Perang Dingin baru dengan Amerika Serikat.
“J.D. Vance justru khawatir bahwa Tiongkok pada akhirnya akan menang atas Amerika Serikat. Dia menambahkan bahwa konflik Taiwan di masa depan akan serupa dengan krisis Suez dan akan melemahkan status Amerika Serikat sebagai negara adidaya,” kata Dudakov.
Apakah Trump dan Vance akan mampu membalikkan arah kebijakan luar negeri Amerika yang telah dianut selama seratus tahun terakhir? Itulah pertanyaan menariknya sekarang. Sebelumnya Trump telah gagal dimasa jabatan pertamanya. Kali ini dimasa jabatan keduanya, dia lagi-lagi akan menghadapi hambatan kuat para elit lama Amerika.