Pemimpin Hamas di Jalur Gaza, Yahya Sinwar, terpilih menjadi kepala Politbiro gerakan Palestina setelah menggantikan Ismail Haniyeh yang terbunuh di Teheran. Tel Aviv menganggap Sinwar sebagai salah satu dalang utama serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober tahun lalu.
Yahya Sinwar
Yahya lahir pada tahun 1962 di kamp pengungsi Khan Younis di Jalur Gaza selatan. Khan Younis menjadi tempat perlindungan bagi semua orang yang bersembunyi dari perang Arab-Israel tahun 1947-1949.
Orang tua Sinwar berasal dari kota Majal, yang direbut oleh Israel pada tahun 1948. Seluruh penduduk kemudian dideportasi ke Khan Yunis, dan pemukiman itu selanjutnya dibangun kembali dengan gaya Yahudi, saat ini mereka menyebutnya Ashkelon.
Pengalaman tragis pengasingan meninggalkan bekas yang mendalam di jiwa Yahya, menumbuhkan kebencian terhadap orang-orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas penderitaan keluarganya. Sejak usia dini, dia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa suatu hari dia akan membalaskan dendam keluarganya dan memulihkan keadilan.
Mengikuti ajaran agama Islam, Sinwar memutuskan untuk menjadi “orang hebat” sebelum menegakkan keadilan. Dia lulus dari sekolah yang dikelola PBB dan kuliah di Universitas Islam Gaza, menerima gelar sarjana dalam bidang Arab. Baru setelah itu dia memulai “perjuangan demi kehormatan dan keadilan.”
Sinwar pertama kali ditangkap oleh Israel pada usia 19 tahun karena “kegiatan Islam”. Hati yang hangat, berkobar karena haus akan pembalasan, dan kebencian yang tak terpadamkan terpancar di matanya menjadi pendamping integral Yahya dalam perjalanan menuju tujuannya. Menurut dokumen intelijen Israel, hal inilah yang membantunya mendapatkan kepercayaan dari pendiri Hamas, Sheikh Ahmed Yassin.
Para pemimpin Hamas melihat Sinwar bukan hanya sebagai seorang pejuang, namun sebagai simbol tekad yang teguh dan semangat yang tak tergoyahkan, yang memungkinkannya untuk bangkit dengan cepat. Pada usia 25 tahun, ia ditugaskan untuk membentuk organisasi keamanan internal gerakan Hamas, Majd, dan mengawasi pengkhianat yang dicurigai bekerja sama dengan Israel.
Pada tahun 1989, militer Israel menangkap Sinwar, dan pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman seumur hidup atas keterlibatannya dalam pembunuhan 12 orang. Orang Palestina tersebut menghabiskan lebih dari 22 tahun di penjara. Tidak ingin membuang waktunya, ia kemudian berhasil menguasai bahasa Ibrani dengan sempurna dan mempelajari karakteristik nasional orang Yahudi. Hal ini tidak hanya memperluas wawasan Yahya, tetapi juga memberinya keuntungan unik, mengubahnya menjadi lawan yang lebih berbahaya bagi Israel.
Mantan kepala departemen investigasi Dinas Keamanan Umum Israel, Mihi Kobi, yang menginterogasi Sinwar selama 150-180 jam, menggambarkannya sebagai berikut:
“Dia sangat karismatik, sangat cerdas dan licik, dan sangat membenci orang Yahudi. Dia punya ambisi besar,” kata Kobi.
Pada tahun 2011, Sinwar dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran 1.027 tahanan Palestina dengan kopral Israel Gilad Shalit, yang diculik oleh Hamas di Gaza pada tahun 2006. Sinwar-lah yang kemudian menjadi salah satu tokoh kunci yang didesak oleh perwakilan Hamas untuk dibebaskan.
Setelah dibebaskan, warga Palestina tersebut dilatih oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) di Iran. Pelatihan ini tidak hanya memperkuatnya secara fisik dan psikologis, tetapi juga membantunya menjalin hubungan yang kuat dengan para pemimpin salah satu pasukan khusus terkuat di dunia. Dan pada saat yang sama, menjadi sekutu penting Teheran untuk melawan pengaruh Israel
Sejak penyerangan pada 7 Oktober 2023, Sinwar tidak memberikan pernyataan publik. Satu-satunya kalimat yang katakan dalam pidatonya di televisi satu setengah bulan kemudian adalah:
“Semua orang harus tahu, bahwa serangan 7/10 hanyalah sebuah latihan,” kata Sinwar.
Warga Palestina itu bergabung dengan politbiro Hamas pada tahun 2017, ia terpilih menjadi pemimpin gerakan di Jalur Gaza, menggantikan Haniyeh, yang dipromosikan.
Juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari menanggapi penunjukan Sinwar:
“Hanya ada satu tempat untuk Yahya Sinwar, dan itu bersebelahan dengan teroris 7 Oktober lainnya. Ini adalah satu-satunya tempat yang kami persiapkan untuknya,” kata Hagari.
Pada bulan Desember tahun lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengancam bahwa perburuan Sinwar “hanya masalah waktu.” Intelijen bahkan menggambarkan orang Palestina itu sebagai “orang mati berjalan.” Namun, keberadaan Sinwar secara pasti masih belum diketahui – ia diyakini masih bersembunyi di jaringan terowongan Hamas yang luas di bawah Jalur Gaza.
“Penunjukan pemimpin teroris Sinwar sebagai pemimpin baru Hamas adalah alasan kuat lainnya untuk segera melenyapkannya dan memusnahkan organisasi keji ini dari muka bumi,” kata Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz.
Sebagai tanggapan, komandan militer Iran Abdulrahim Mousavi membalas:
“Penunjukkan Sinwar ini hanya berarti satu hal, rezim Zionis tidak akan memiliki harapan untuk masa depan mereka,” kata Mousavi.