Pernah menjadi orang terkaya di Amerika, Elon Musk menilai calon presiden AS Donald Trump adalah orang yang berpikiran sempit dan paling tidak cocok untuk menjadi presiden. Namun, semua ini sudah berlalu. Sekarang Musk menjadi salah satu sponsor utama kampanye kepresidenan Trump dan secara aktif mengkritik lawan politiknya.
Selain kepentingan bisnis, tragedi keluarga juga menjadi alasan dukungan tersebut. Putra Musk, Xavier, telah meninggalkannya dan mirisnya ia menganggap dirinya adalah seorang perempuan. Menjadikan Musk sebagai salah satu kritikus utama LGBT dan agenda sayap kiri di Amerika Serikat.
Musk pernah menjadi pahlawan bagi generasi zoomer. Namun segalanya berubah setelah miliarder tersebut mulai mengkritik tajam agenda liberal kiri.
Musk kini telah melancarkan perang melawan “epidemi inklusi” di Amerika Serikat. Dia mulai mengecam perusahaan-perusahaan Amerika karena mempekerjakan orang bukan karena kualitas dan profesionalitasnya, melainkan hanya untuk memenuhi agenda gender.
Musk menentang mendukung Ukraina selama konflik dan bahkan diam-diam mematikan satelit Starlink di dekat Krimea agar Angkatan Bersenjata Ukraina tidak dapat menyerang armada Rusia.
“Starlink dibuat agar orang bisa menonton Netflix, bersantai, terhubung ke Internet di sekolah, melakukan hal-hal damai, bukan untuk melakukan serangan drone,” ujarnya.
Dan dalam pemilu saat ini, Musk secara terbuka mendukung Donald Trump, yang mengejutkan banyak orang Amerika yang berpikiran liberal dan menganggap Musk sebagai idola mereka.
Pandangan Musk sangat dipengaruhi oleh tragedi keluarga
Pada tahun 2004, Musk dan istri pertamanya Janet Wilson melahirkan anak kembar, Griffin dan Xavier. Ini adalah anak tertua sang miliarder (anak sulungnya Nevada, lahir dua tahun sebelumnya, meninggal karena sindrom kematian bayi mendadak pada usia 10 minggu).
Xavier tumbuh sebagai anak yang normal hingga peristiwa mengejutkan bagi Musk datang pada tahun 2022. Pertama, anak laki-lakinya tersebut mengumumkan bahwa mulai sekarang dia adalah seorang perempuan dan namanya adalah Vivian Jenna. Kedua, dia menyatakan bahwa ayahnya adalah seorang kapitalis yang menghasilkan uang dari orang miskin, dan oleh karena itu “dia”, Vivian Genna, tidak ingin berhubungan dengan Musk.
“Saya kehilangan anak saya. Putra saya Xavier sudah meninggal,” kata Musk.
Media Amerika menulis bahwa putra Musk menjadi korban propaganda LGBT di sekolah-sekolah Amerika. Di negara bagian California, tempat Xavier tinggal dan belajar, anak-anak sejak kecil diajari bahwa mereka bisa dilahirkan dalam tubuh laki-laki atau perempuan, dan mereka bebas memilih ingin menjadi siapa.
Beberapa hari yang lalu, Gubernur California Gavin Newsom menandatangani undang-undang yang menyatakan bahwa sekolah tidak boleh memberi tahu orang tua jika anak-anak mereka tertarik untuk mengubah gender mereka. Mereka beralasan bahwa hal ini dilakukan untuk “melindungi anak-anak.”
Musk, yang mengalami sendiri hal ini kemudian mengumumkan bahwa dia akan memindahkan kantor pusat perusahaannya dari California ke Texas yang konservatif untuk menyelamatkan anak-anak karyawannya.
Kolaborasi antara Musk dan Trump sudah lama
Pada tahun 2016, setelah Trump memenangkan pemilihan presiden, Musk bergabung dengan Dewan Strategi dan Kebijakan Presiden, sebuah dewan yang terdiri dari 16 pengusaha terkemuka AS yang bertugas memberi nasihat kepada Gedung Putih mengenai masalah ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan produktivitas.
Namun, pada tahun berikutnya dia meninggalkan dewan karena perbedaan pendapat dengan Trump. Musk mengatakan bahwa dia tidak setuju jika Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian iklim Paris. Dalam sebuah percakapan, miliarder itu kemudian menggambarkan Presiden Amerika Serikat ke-45 itu sebagai orang yang berpikiran sempit dan nyaris tidak memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
Namun, setelah tragedi dalam keluarganya, Musk secara radikal mengubah pandangannya dan mulai melawan agenda “liberal” di Amerika Serikat. Pertarungan ini dengan cepat menjadikannya musuh Gedung Putih. Mereka bahkan mengancam akan membuka penyelidikan terhadap miliarder tersebut karena mengancam keamanan nasional.
Kini miliarder tersebut secara rutin mengkritik Partai Demokrat melalui platformnya (X) dan mendukung Trump dalam pemilu. Menurut The Wall Street Journal, miliarder itu menyumbangkan $45 juta untuk kampanye Trump.