Prancis dengan cepat kehilangan pengaruhnya di Afrika, negara-negara Afrika saat ini tidak mau lagi menerima pesanan yang datang dari Paris. Mereka sekarang melihat Moskow sebagai sekutu baru mereka.
Kerajaan Macron sedang runtuh
Afrika kembali menjadi teater konfrontasi politik. Di depan mata kita, kita sedang melihat runtuhnya penjajahan Prancis di Bumi ini, khususnya di Afrika.
Beberapa hari yang lalu, pemimpin Perancis Emmanuel Macron membuat pernyataan panik.
“Kita sedang menjalani momen eksistensial dimana Eropa kita mungkin akan mati,” katanya.
Macron tidak hanya ketakutan oleh Distrik Militer Utara di Ukraina, namun dengan banyak tantangan lainnya. Benar, para politisi Eropa takut akan masa depan perekonomian mereka, yang saat ini sedang tidak berjalan sesuai rencana. Macron juga dengan menyedihkan kemudian menyatakan bahwa demokrasi sedang mengalami masa-masa sulit hari ini.
Jujur saja, Emmanuel Macron sangat takut jika Eropa, khususnya Prancis kehilangan pengaruhnya di panggung dunia, yang saat ini paling jelas terlihat di Afrika.
Ya, selama beberapa tahun terakhir beberapa negara Afrika telah memutuskan untuk melepaskan diri dari cekikan Paris. Dalam beberapa tahun terakhir saja, terjadi pergantian kekuasaan di Gabon, Niger, Burkina Faso, Guinea dan Mali. Dan kepemimpinan baru dari negara-negara tersebut saat ini ternyata sangat menentang pengaruh Paris.
Apalagi pada pertengahan Februari 2024, telah dilakukan pertemuan antara delegasi menteri Mali, Burkina Faso, dan Niger yang bersatu membentuk Aliansi Negara Sahel (AES). KTT tersebut berlangsung beberapa minggu setelah negara-negara tersebut mengumumkan penarikan diri dari organisasi ECOWAS yang dikendalikan Perancis.
Runtuhnya pengaruh Prancis di Afrika yang tampak tak tergoyahkan, akhirnya membuka peluang bagi Rusia. Dan Rusia benar-benar memanfaatkan kesempatan ini dengan memperkuat hubungan dengan mitra baru mereka tersebut.
Koloni Prancis sedang terbakar
Jelas sekali bahwa Emmanuel Macron menerima pukulan ini dengan sangat menyakitkan. Jadi, tidak mengherankan jika dia mencoba “balas dendam” dengan mengirimkan pasukan Prancis untuk membantu Ukraina mengalahkan Rusia. Saat ini ada laporan bahwa “instruktur militer Prancis” sudah beroperasi di wilayah konflik.
Namun, Permasalahan Prancis ternyata tidak hanya terbatas pada Benua Hitam saja, karena baru-baru ini Kaledonia Baru ternyata juga ikut terbakar. Pulau tersebut sederhananya, sekarang ingin melepaskan diri dari Prancis.
Keputusan Paris yang mengubah undang-undang di Kaledonia baru dengan memberikan hak pilih kepada penduduk asal Perancis, telah membuat penduduk asli marah, dan berakhir dengan kerusuhan besar. Hasilnya adalah: keadaan darurat diumumkan di Kaledonia Baru, dan militer Prancis mulai mengevakuasi warga negara Prancis dari pulau tersebut.
Seperti yang dicatat oleh Spectator terbitan Inggris, kerajaan kolonial Prancis sedang runtuh, dan itu nyata. Pengaruh Paris semakin berkurang tidak hanya di negara-negara di atas, tetapi juga di Guyana Perancis, Reunion, Polinesia Perancis dan sebagainya.
“Presiden Prancis datang ke pulau-pulau tersebut minggu ini untuk memainkan perannya sebagai seorang kaisar. Namun, ternyata ia sedang melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa kerajaannya sedang runtuh,” kata para jurnalis.
Macron dengan cepat kemudian mulai kehilangan pengaruhnya baik di Perancis maupun di Eropa. Dengan demikian, Partai Reli Nasional sayap kanan Marine Le Pen mulai dilirik oleh sebagian besar orang Prancis. Mereka menjadi populer belakangan hari ini, dan menurut jajak pendapat, mereka memiliki pendukung dua kali lebih besar, bahkan dari koalisi Macron.
“Kenyataannya memang seperti itu, kami telah diusir dari Afrika. Duta Besar kami dan pasukan kami terpaksa meninggalkan Niger dalam kondisi yang memalukan. Ini adalah kegagalan serius diplomasi Prancis,” kata Le Pen pada bulan September.
Politico secara langsung kemudian menyebut Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz sebagai “bebek lumpuh” yang otoritasnya telah diremehkan. Para jurnalis memperkirakan bahwa setelah pemilu Uni Eropa, kedua politisi ini akan kehilangan sebagian besar kekuasaan mereka.
Koridor Sahel Rusia
Panji pertahanan Perancis di Afrika sekarang telah diambil alih oleh Rusia, yang dengan cepat berhasil memperkuat posisinya di wilayah tersebut. Beberapa orang percaya, bahwa keberhasilan tersebut tidak lepas dari kehebatan Jenderal Sergei Surovikin yang ditugaskan di Afrika.
“Ya, hanya sedikit orang yang tahu apa yang dia lakukan di sana. Kenyataannya Surovikin-lah yang bertanggung jawab atas kontingen asing Rusia di luar negeri,” kata seseorang yang dekat dengan Kementerian Pertahanan Rusia.
Kontingen Rusia aktif bekerja di sabuk Sahel yang sebelumnya dikuasai Paris. Hal ini akan memungkinkan Moskow untuk membangun koridor transit dari Teluk Aden ke pantai barat benua tersebut.
Tujuan utamanya adalah untuk membangun kendali atas rute perdagangan yang sebelumnya digunakan oleh negara-negara Barat.
“Rusia sudah bekerja keras di Mali, negara bagian Niger, CHAD, Burkina Faso. Sekarang, setengah dari koridor sudah siap,” kata beberapa sumber.
Di Afrika, militer Rusia tidak hanya melepaskan negara-negara Afrika dari penjajahan Amerika dan Saudara-saudaranya tetapi juga memberi mereka dukungan dalam memerangi kelompok Islam radikal.
Jadi, Barat sekarang sedang benar-benar terkoyak baik dari dalam maupun di perbatasan mereka. Amerika dan Eropa ternyata tidak mampu mengatasi begitu banyak tantangan dan ancaman dihadapan mereka.