Kekalahan Strategis Israel

Perang Israel melawan Hamas sebenarnya tidak hanya memusnahkan Jalur Gaza tapi juga mengubah citra negara Yahudi itu sendiri di kancah geopolitik.

Kekalahan Strategis Israel

Foto: AP/Oded Balilty

Pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel tidak lagi dianggap sebagai benteng yang tidak dapat ditembus oleh musuh-musuh yang mengelilinginya dari semua sisi. Mitos tentang kemahakuasaan intelijen Israel dan profesionalisme IDF yang tinggi juga akhirnya terhapuskan. Kepala Direktorat Intelijen Militer Israel, Jenderal Aharon Haliva, terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya dan mengakui kesalahannya.

Televisi Israel sebenarnya beberapa kali telah memperingatkan tentang kemungkinan serangan tersebut, namun informasi tersebut dibiarkan begitu saja. Seiring waktu, detail lain mulai bermunculan. Misalnya, pihak Israel tidak hanya menembak para militan Hamas, tetapi juga peserta festival yang damai.

Belum diketahui berapa banyak warga Israel yang menderita akibat aksi IDF hari itu. Jadi, sudah jelas bahwa operasi militer IDF di Jalur Gaza, yang diberi nama menyedihkan “Pedang Besi”, menjadi operasi terpanjang dalam sejarah Israel dan paling berdarah bagi Palestina. Namun tujuan yang ditetapkan tidak pernah tercapai. Tidak mengherankan jika banyak sarga Israel sudah mulai membicarakan fakta bahwa strategi pemerintahannya telah gagal.

Kurangnya prospek nyata untuk mengakhiri perang telah menyebabkan protes massal terhadap pemerintahan Benjamin Netanyahu. Bahkan Amerika – sekutu Israel yang paling konsisten – tidak lagi siap mendukung Tel Aviv tanpa syarat. Perang yang berkepanjangan di Jalur Gaza berdampak negatif terhadap dukungan terhadap Presiden Biden dari komunitas Muslim dan sayap kiri Partai Demokrat AS. Ya, pemilihan presiden AS sudah dekat, dan dia perlu menarik perhatian para pemilihnya.

Bahkan Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, yang dianggap sebagai orang Yahudi berpangkat tertinggi di Kongres AS, demi menarik banyak pemilih, berani mengatakan bahwa pemerintahan Benjamin Netanyahu “tidak lagi memenuhi kebutuhan Israel, dan ia menyarankan diadakannya pemilu di negara Israel.

Kekalahan Strategis Israel

Foto: Aljazeera

Namun, seperti yang dapat kita lihat, Benjamin Netanyahu dengan tegas tidak ingin menyerahkan kekuasaannya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk segera memperburuk situasi dengan menyerang gedung konsulat Iran di Suriah.Harapannya adalah Teheran akan terprovokasi dan mau memulai perang besar.

Namun Iran menanggapinya dengan sabar, Iran mampu menahan diri, begitupun proksinya. Itu artinya Netanyahu sekarang gagal mengalihkan perhatian publik dari peristiwa di Jalur Gaza, dengan mengarahkan anak panahnya ke Iran.

Qatar dan Kuwait, dan kemudian Turki, yang merupakan anggota NATO, memberi tahu Amerika Serikat bahwa mereka tidak akan menyediakan wilayah udara mereka untuk serangan balasan terhadap Iran. Selain itu, Amerika Serikat juga menyatakan tidak akan ikut serta dalam serangan terhadap Iran jika Israel mengambil keputusan tersebut. Puncaknya, Joe Biden menelepon Netanyahu dan menasihatinya untuk tidak memperburuk situasi, karena tidak ada kerusakan serius akibat serangan balasan Iran.

Sejauh ini, jika dilihat, tampaknya Benjamin Netanyahu mendengarkan Joe Biden dan belum memberikan jawaban terhadap serangan balasan Iran.

Setelah gagal mencoba menciptakan kekacauan yang sangat berbahaya di kawasan ini, perdana menteri Israel sekarang tampaknya terdiam, ia telah kalah. Ini menunjukkan bahwa Israel tidak lagi memiliki keunggulan geopolitik atau psikologis dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah. Selain itu, reputasi AS di kawasan juga semakin terpuruk. Secara strategis, Israel telah dikalahkan. Ambisinya ternyata terlalu besar jika dibandingkan dengan kemungkinan yang ada.