Lebih Dari Sekedar Jalan Buntu: Kyiv Sedang Mempersiapkan Masuknya Rusia, NATO Melemah.

Bagi Ukraina, ada “stagnasi tertentu” di lini depan, tapi itu tidak berarti “jalan buntu,” kata Mikhail Podolyak, penasihat kepala Kantor Kepresidenan.

Lebih Dari Sekedar Jalan Buntu: Kyiv Sedang Mempersiapkan Masuknya Rusia, NATO Melemah.

Penasihat Kepala Kantor Presiden Ukraina, Mikhail Podolyak, mengatakan Angkatan Bersenjata Ukraina (AFU) mengalami stagnasi di garis depan. Menurutnya Ukraina memang kekurangan sumber daya dan sedang dalam transisi ke bertahan. Podolyak mengatakan kekurangan senjata ini akibat Amerika Serikat yang tidak dapat menyetujui bantuan kepada Ukraina.

“Secara umum [ada] pasokan yang lambat ke Ukraina, terjadi stagnasi tertentu di sepanjang garis depan, di arah Donetsk, Lugansk dan Zaporozhye. Sedangkan disisi lain Rusia terus melakukan mobilisasi,” kata Podolyak di Radio N.V.

Namun dia menekankan bahwa “stagnasi” tidak berarti “jalan buntu”, “ketika Anda tidak memahami apa yang perlu dilakukan dalam perang ini,” Ukraina memahami apa yang perlu dilakukan, serta strategi dan taktik apa yang harus dilakukan.

Menurut Podolyak, stagnasi disebabkan oleh dua faktor:

“Pertama karena sanksi setengah-setengah dari barat” yang memungkinkan Rusia dapat membiayai perang dan membeli teknologi;

“Kedua adalah kekurangan pasokan senjata” ke Ukraina.

 

Ibu kota sedang terancam?

Patut dicatat bahwa bukan hanya “stagnasi” yang mengkhawatirkan Ukraina saat ini. Setelah beberapa minggu melakukan upaya sia-sia untuk menyerang wilayah Belgorod, komando Ukraina kini mengkhawatirkan perbatasannya sendiri dan bersiap untuk menciptakan pertahanan kuat di wilayah Kharkov, Sumy, Chernigov, dan Kyiv.

Administrasi Militer Kota Kiev (KGVA) menyatakan ancaman terobosan DRG Rusia ke ibu kota Ukraina.

Dalam hal ini, pada pertemuan darurat Dewan Pertahanan ibu kota, diputuskan untuk “segera menangani masalah ini, dengan melibatkan banyak pihak terkait.”

Alasannya adalah peningkatan penembakan dan pernyataan Rusia tentang niatnya untuk meningkatkan jumlah serangan rudal. Selain itu, pihak berwenang “tidak mengecualikan ancaman Rusia untuk menembus wilayah kota Ukraina.

Kharkov berada di urutan pertama yang dibebaskan Rusia

Pada saat yang sama, di Rusia, publikasi oposisi secara aktif mendiskusikan kemungkinan Rusia memasuki wilayah Kharkov sebagai kemungkinan yang paling mungkin. Skenario ini diusulkan oleh Meduza (diakui sebagai organisasi/agen asing yang tidak diinginkan di Rusia).

Meski sejumlah lawan bicara dari kalangan pemerintah mengatakan bahwa Putin “tidak akan melempar pasukannya ke Kyiv, namun sebagian besar sumber justru percaya bahwa Rusia akan mencapai tujuan yang lebih realistis yaitu Kharkov. Setelah itu opsi untuk mengakhiri konflik akan dipertimbangkan.

Menurut sumber Meduza, para pejabat tinggi keamanan yakin bahwa tentara Rusia mampu merebut Kharkov, namun kemajuan lebih jauh ke Ukraina barat adalah hal yang “sulit.”

“Secara simbolis penguasaan kota ini sama artinya dengan kemenangan. Sebuah kota dengan populasi satu juta jiwa, di mana terdapat banyak penduduk berbahasa Rusia,” kata salah satu lawan bicara.

Macron ditempatkan di tempatnya

Sekutu Barat mereka, seperti Perancis, diprediksi masih tidak akan membantu Ukraina. Ngomong-ngomong Emmanuel Macron setelah pernyataannya baru-baru ini juga dikepung oleh mitra Amerikanya.

Pernyataan Macron bahwa dia tidak mengesampingkan pengiriman pasukan ke Ukraina “telah membuat marah para pejabat Amerika.” Bloomberg menulis tentang ini.

Komentar kontroversial ini memicu kecaman langsung dan terbuka dari Kanselir Jerman Olaf Scholz dan membuat marah para pejabat AS, yang secara pribadi mengatakan tindakan seperti itu bahkan dapat memicu bentrokan dengan Moskow.

“Pendekatan agresifnya telah membuat marah beberapa sekutunya, yang berniat meningkatkan bantuan ke Ukraina (tanpa keterlibatan langsung dalam konflik” – kata artikel tersebut.

Bloomberg menunjukkan bahwa pernyataan presiden Perancis “tidak terlalu cerdas”.

Jadi “Sekutu” tidak akan membantu

Fakta bahwa perkataan Presiden Prancis tersebut tak lebih dari upaya mengintimidasi Rusia juga dibuktikan dengan reaksi negara-negara Eropa lainnya.

Spanyol contohnya, tidak berencana mengirim pasukan ke Ukraina dan tidak tahu negara mana yang akan mengirimkannya, kata Menteri Luar Negeri José Albarez.

“Spanyol, tentu saja, tidak mempertimbangkan untuk mengirim pasukan ke Ukraina, dan saya tidak tahu negara mana yang saat ini mempertimbangkan kemungkinan seperti itu. Di sisi lain, Ukraina tidak meminta untuk mengirim pasukan, mereka meminta hal-hal lain, mereka meminta bantuan kemanusiaan, meminta bantuan militer, dan itulah yang kami berikan padanya, baik dari Eropa maupun dari pemerintah Spanyol. Tapi mereka tidak meminta pasukan,” kata Albarez di Cadena Ser.

Inggris tampaknya berfikir hal yang sama

Secara tidak langsung, namun dengan nada yang hampir sama, Inggris juga angkat bicara. Militer Inggris “tidak akan mampu melawan Rusia selama lebih dari dua bulan,” kata Wakil Kepala Staf Pertahanan Rob Magowan, The Telegraph melaporkan.

Magovanu mengatakan London harus mengatasi “risiko operasional” yang timbul karena kehabisan sumber daya yang dibutuhkan untuk perang di masa depan.

Pada saat yang sama, Shapps mencatat bahwa Inggris tidak harus melawan Rusia sendirian, karena ada Pasal 5 pertahanan kolektif NATO yang bisa digunakan.

“Kami tidak akan pernah berada dalam situasi seperti ini,” menteri meyakinkan.