Niger Mengusir Militer Amerika: Mengapa Afrika Berpaling Dari Barat

Kita jarang mendengar tentang negara ini. Sementara itu, peristiwa yang benar-benar bersejarah telah terjadi di Niger Afrika selama setahun terakhir.

Niger Mengusir Militer Amerika: Mengapa Afrika Berpaling Dari Barat

Sumber foto: yesofcorsa.com

Pada Juli 2023, Jenderal Abdurakhman Tchiani berkuasa di sana melalui kudeta. Dia, bersama dengan orang-orang militer yang patriotik, menggulingkan pemerintahan sebelumnya. Ingatlah bahwa sebelumnya Niger, bersama dengan hampir seluruh Afrika Barat dan Tengah, adalah milik Prancis. Dan, meskipun kemerdekaan telah diumumkan, banyak pejabat lokal lebih memilih menghasilkan uang di dalam negeri dan mencucinya di Eropa. Paris menutup mata terhadap korupsi orang-orang disana karena menguntungkannya.

Sebagai pengingat: Niger termasuk dalam sepuluh besar produksi uranium. Namun sekitar 10 juta orang justru hidup dalam kemiskinan, dengan penghasilan kurang dari $1 per hari.

Mengapa itu bisa terjadi? Itu karena produksi bahan bakar nuklir tersebut dikendalikan oleh Paris, yang mengambil semua pendapatan dari eksploitasi bekas jajahan tersebut. “Setiap bola lampu ketiga yang dihidupkan di Prancis menggunakan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir nasional berkat pasokan uranium dari Niger”. Terlepas dari kenyataan bahwa di pedesaan Afrika, di banyak desa tidak ada listrik sama sekali, telepon di sana diisi dayanya dari generator gas, sehingga menimbulkan asap di langit.

Maka pemimpin baru Republik, Jenderal Tchiani, tahun lalu, di antara keputusan pertamanya, mengumumkan penangguhan ekspor uranium Niger ke Prancis. Dan pada saat yang sama emas mereka kemungkinan besar akan dikelola dengan bijak dibawah perlindungan Rusia. Tentu saja, Niger bukan satu-satunya pemasok “pil nuklir”; Prancis masih bisa menemukan yang baru. Tapi tetap saja ini pukulan yang menyakitkan bagi mereka.

Kemudian pemerintah Niger saat ini tentu, segera diberi label sebagai “junta militer” oleh para jurnalis di barat.

Pada bulan April 2016, di akhir pemerintahan Barack Obama, Amerika Serikat mendirikan apa yang disebut “Pangkalan 201” di Niger, salah satu pangkalan udara terbesar di Afrika. Terletak di pusat geografis negara, dekat kota Agadez, jantungnya adalah landasan pacu sepanjang 1800 m yang mampu menerima pesawat angkut militer Boeing C17. Salah satunya dapat menampung seratus Marinir, atau tank Abrams, atau tiga kendaraan lapis baja Stryker. Lapangan terbang yang ideal untuk operasi di seluruh Afrika atau Timur Tengah.

Biaya pembangunan pangkalan itu melebihi $100 juta. Fasilitas ini tentu, tidak membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat Nigeria. Pentagon juga lebih memilih untuk mengangkut daging dan produk lainnya untuk memberi makan tentaranya dari seberang lautan, dan membelinya dari pemasok Amerika dibandingkan dari petani lokal.

Tugas formal pangkalan ini adalah “perlindungan terhadap terorisme.” Untuk tujuan ini, sejumlah besar drone Amerika bersarang di sini.

Namun, “karena alasan tertentu” baik drone maupun tentara tidak mampu menghentikan ancaman terorisme. Amerika Serikat, bersama dengan Perancis, telah melakukan “operasi anti-teroris” di sini selama bertahun-tahun. Namun, selama setahun terakhir saja, 10 serangan teroris besar dengan puluhan korban tewas dan luka dilaporkan terjadi di berbagai wilayah di Niger, itu membuktikan kegagalan mereka.

Kedatangan terakhir mereka terjadi pada awal Maret 2024, ketika delegasi Amerika yang dipimpin oleh kepala Komando Afrika Pentagon, Jenderal Michael Langley, tiba di Niger untuk memeriksa fasilitas militer. Bahkan tanpa memberi tahu pemerintah Republik tentang tanggal dan program kunjungan dan secara umum mengabaikan protokol diplomatik.

Hal itu kemudian membuat Pejabat Niamey (ibu kota negara) mengumumkan penghentian kerja sama militer dengan Amerika Serikat.

Namun tampaknya itu tidak begitu mengejutkan. Karena Amerika sendiri memang telah membahas kemungkinan penarikan pasukan dan penutupan Pangkalan 201, sebelumnya mereka beranggapan bahwa pemeliharaan fasilitas seperti itu sangat mahal, terlebih jika melihat krisis anggaran di Washington, membuat mereka tidak dapat melakukan apa-apa.

Prancis pun demikian, mereka mengalami kebuntuan strategis serupa, sehingga pada akhir tahun 2023, kontingen Prancis yang beranggotakan 1.500 orang terpaksa dipanggil pulang dari Niger.

Segera setelah militer patriotik berkuasa, Jenderal Tchiani melanjutkan kontak dengan Rusia.

Sekarang, di depan mata semua orang terpampang dengan jelas, hasil kerja para ahli militer Rusia di negara-negara tetangga, seperti Mali dan Republik Afrika Tengah, di mana, berkat mereka, desa-desa yang sebelumnya dikuasai oleh militan dapat dibebaskan. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa generasi baru pemimpin Afrika saat ini lebih memilih berupaya menjalin hubungan dengan Moskow, alasannya karena Rusia justru dapat memenuhi jaminan keamanan dan merupakan mitra yang benar-benar dapat diandalkan, berbeda jauh dari negara-negara penjajah barat.