Chad menjadi negara Afrika terbaru yang berupaya menggulingkan pemerintahan sebelumnya yang pro-Prancis. Dalam tiga tahun sejak Rusia kembali ke wilayah tersebut, kehadiran Perancis di sebagian besar negara Sahel hampir hancur total. Tampaknya Perancis kini akan kehilangan benteng terpentingnya di kawasan ini Yaitu Republik Chad.
Sumber foto: ria.ru
Sepanjang Rabu, 28 Februari, pertempuran terjadi di ibu kota Chad, N’Djamena, antara pasukan yang dikendalikan oleh Presiden transisi Mahamata Déby dan para pemberontak, yang menurut berbagai laporan, mungkin dipimpin oleh Yaya Dillo, pemimpin oposisi Partai Sosialis Tanpa Batas.
Saksi mata di N’Djamena melaporkan pertempuran memperebutkan istana presiden menewaskan beberapa orang di kedua pihak. Tidak ada yang diketahui tentang keberadaan kepala negara. Semua jalan menuju gedungnya diblokir. Tidak ada layanan telepon di ibu kota, dan Internet diblokir.
Sumber foto: afrinz.ru
Apa yang menjadi alasan kudeta itu?
Situasi di ibu kota Chad meningkat pada Rabu malam. Orang-orang bersenjata tak dikenal menyerang kantor badan intelijen Chad, khususnya kantor badan keamanan negara, yang menurut media, menimbulkan korban jiwa.
Pihak berwenang segera menyatakan bahwa situasi sudah terkendali. Dilaporkan bahwa beberapa penyerang ditahan dan penggeledahan sedang dilakukan terhadap mereka yang terlibat dalam penyerangan terhadap kantor lembaga penegak hukum. Pada saat yang sama, pada siang hari, tembakan juga terdengar di dekat markas besar Partai Sosialis Tanpa Batas, yang dituduh pihak berwenang menyerang kantor dinas keamanan.
Yaya Dillo membantah terlibat dalam serangan terhadap badan intelijen dalam sebuah wawancara dengan AFP. Sebelumnya, pada pertengahan Februari, Ketika pemerintah menuduh Partai Sosialis Tanpa Batas (Socialist Party Without Borders) berupaya membunuh ketua Mahkamah Agung, ia juga menyatakan partainya tidak terlibat dan menyebut upaya tersebut sebagai tindakan rekayasa.
“Tujuan yang diinginkan adalah untuk menghalangi saya, melenyapkan saya secara fisik, menakut-nakuti saya agar saya tidak pergi ke tempat pemungutan suara,” kata Yaya Dillo.
Ternyata peristiwa 28 Februari kemarin disebabkan oleh pengumuman jadwal pemilihan presiden di Chad yang putaran pertama dijadwalkan akan berlangsung pada 6 Mei 2024. Baik Presiden sementara Mahamat Idriss Deby dan lawannya Yahya Dillo telah mengumumkan partisipasi mereka dalam pemilu.
Siapakah Mahamat Idriss Deby?
Pemimpin transisi berusia 40 tahun itu mengambil alih kekuasaan pada 20 April 2021, segera setelah kematian mantan pemimpin Chad, ayahnya, yang tewas dalam pertempuran dengan kelompok separatis. Pertama sebagai ketua dewan militer transisi, dan mulai Oktober 2022 sebagai presiden transisi Chad.
Sumber foto: Alwihdainfo
Pada 24 Januari 2024, Mahamat Idriss Deby mengadakan pembicaraan dengan Vladimir Putin di Moskow. Kunjungan ini sangat tidak terduga terutama bagi Barat dan khususnya Prancis, yang belum lama terpaksa menarik pasukannya dari sebagian besar negara bagian di kawasan Sahel (sabuk negara-negara di selatan Sahara).
Selain kerja sama kemanusiaan, pemimpin Rusia tersebut juga menyoroti perjuangan pemerintah Chad melawan kelompok teroris dan berjanji akan membantu menjaga stabilitas di negara Afrika tersebut.
Namun Deby sendiri faktanya dinilai sebagai pemimpin yang pro-Prancis. Ia diketahui belajar di Paris, Prancis. Prancis menganggap pemerintah Chad sebagai sekutu terakhirnya di kawasan tersebut, yang dikelilingi oleh negara-negara dengan pemerintahan pro-Rusia.
Apa itu Sahel?
Ini adalah wilayah di Afrika, yang merupakan semacam peralihan antara Sahara di utara dan tanah yang lebih subur di selatan. Wilayahnya meliputi Mauritania, Mali, Burkina Faso, Aljazair, Niger, Nigeria, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Chad, Sudan, Sudan Selatan dan Eritrea. Ini adalah sabana dan ladang semi-kering sepanjang ribuan kilometer, yang membentang dari Samudra Atlantik hingga Laut Merah.
Penguasaan Sahel berarti penguasaan atas sumber daya mineral dan pasar yang besar.
Lalu apa?
Eskalasi yang terjadi saat ini di Chad tidak peduli siapa yang memenangkan konfrontasi bersenjata merupakan bukti, bahwa Barat yang diwakili oleh Perancis, berisiko kehilangan wilayah yang telah mereka nikmati keuntungannya selama setengah abad. Dan peluang Paris untuk mendapatkan sumber daya gratis dari sana, serta kembali ke pasar Afrika, semakin kecil setiap harinya.
Sekarang histeria Macron, yang pada tanggal 27 Februari mengusulkan agar sekutu NATO memasok Kiev tidak hanya rudal dan peralatan militer, tetapi juga tentara, menjadi lebih jelas. Ini adalah balas dendam terhadap Rusia, yang dalam waktu kurang dari tiga tahun mampu menghancurkan geopolitik kolonial Barat yang telah berusia berabad-abad di Sahel, Afrika.